Posted in

500 Juta Demi Mimpi Orang Lain

500 Juta Demi Mimpi Orang Lain
500 Juta Demi Mimpi Orang Lain

Namaku Maya. Aku menikah dengan Reza, pria yang hidupnya dulu jauh dari kata layak. Sejak kecil, Reza tumbuh dalam keluarga serba kekurangan. Katanya, makan sehari-hari cuma dengan nasi dan terasi. Tempe atau tahu pun harus dibakar karena tak sanggup beli minyak goreng. Sayuran? Ambil dari kebun kecil di belakang rumah. Daging ayam atau sapi hanya dinikmati adiknya, Rian, karena katanya “nggak bisa makan kalau nggak ada lauk hewani.”

Ironisnya, ayah Reza adalah seorang ASN. Tapi entah kenapa, gaji 6 juta tiap bulan hanya tersisa 400 ribu karena utang dari berbagai arah. Dan sekarang, mereka datang dengan permintaan yang bikin aku tercengang: 500 juta rupiah.

Semua itu demi Rian, si bungsu yang ngotot ingin bekerja sebagai Profesi A. Profesi yang tak bisa aku sebut, tapi cukup terkenal dan memang banyak ‘jalur belakangnya’. Mereka bilang, Rian harus jadi itu karena dulu ayah dan ibu mertua pernah ke orang pintar. Kata si orang itu, “Rian nanti kerjanya di Profesi A.” Dan sejak saat itu, Rian seolah tak bisa menerima nasib selain yang diramalkan.

Padahal tahun lalu dia sudah coba daftar dan hampir lolos, tapi tersingkir di tahap akhir karena… ya itu tadi: uang. Biayanya besar, dan untuk “memuluskan jalan”, dibutuhkan dana sekitar setengah miliar. Sekarang mereka berharap kami—aku dan Reza—yang bantu.

Mertua dengan enteng bilang ke Reza, “Kasihan Rian belum kerja. Kamu kan udah enak, udah kuliah, udah kerja. Sekarang gantian bantu adikmu.”

Gantian? Aku ingin tertawa—tapi yang keluar justru helaan napas panjang.

Mereka lupa bagaimana Reza dulu banting tulang cari kerja usai lulus SMA, demi bisa kasih makan keluarganya. Gaji pertamanya habis untuk dapur rumah, bukan untuk dirinya sendiri. Bahkan biaya kuliahnya saja dulu sempat jadi polemik. Kami sepakat saat itu, orang tua Reza yang tanggung biayanya, agar tidak mengganggu keuangan kami sebagai pasangan baru. Tapi kenyataannya? Mereka berutang ke sana kemari pakai nama Reza, dan uangnya entah ke mana.

Sekarang mereka kembali, minta tolong lagi. Demi adik bungsu yang tak pernah merasakan kerasnya dunia, demi mimpi yang ditanam dari ucapan orang pintar, demi gengsi di mata tetangga.

Aku sudah bilang ke Reza, “Kita punya anak. Kita punya masa depan. Kita nggak bisa korbankan semua ini buat sesuatu yang bahkan bukan tanggung jawab kita.”

Sakit rasanya lihat suamiku terus-terusan dijadikan tumpuan tanpa dihargai. Semua seolah demi pujian semu dari orang lain.

Tapi cukup. Mimpi orang lain tidak akan kami bayar dengan masa depan anak-anak kami.


Image by Steve Buissinne from Pixabay