Posted in

Dari Luka Menjadi Kekuatan

Dari Luka Menjadi Kekuatan
Dari Luka Menjadi Kekuatan

Aku lahir pada tahun 1993, tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih. Namun, kehidupan tak selalu seindah harapan. Tahun 2002 menjadi titik awal ujian berat ketika orang tuaku menjadi korban penipuan besar-besaran. Uang lebih dari 600 juta lenyap begitu saja, mengubah keadaan ekonomi keluarga kami secara drastis.

Tak lama setelah itu, pada tahun 2003, sebuah kebakaran melanda toko orang tuaku. Seluruh usaha dan jerih payah kami hangus dalam sekejap. Aku bisa melihat betapa beratnya kedua orang tuaku menerima kenyataan itu, terutama Ayah. Pukulan demi pukulan terus datang. Setahun kemudian, Ayah mendadak jatuh sakit, dan dokter mendiagnosisnya dengan penyakit kronis. Kami sekeluarga berusaha keras memberikan perawatan terbaik, tetapi pada tahun 2005, Ayah berpulang. Rasa kehilangan yang dalam seketika memenuhi rumah kami.

Di tengah duka itu, aku berusaha bangkit. Setelah lulus sekolah, pada tahun 2011 aku mencoba peruntungan masuk SNMPTN di jurusan Kimia Murni di UNESA, namun takdir berkata lain. Aku tidak lolos. Tak ingin terpuruk, aku memilih berkuliah di Universitas Arya Wiraraja.

Tahun 2014 adalah tahun penuh perubahan. Aku bekerja sambil menyelesaikan tugas akhir di sebuah cabang Bank Syariah dekat rumah. Di tahun yang sama, aku menikah. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Setahun kemudian, saat aku hamil, aku mengetahui bahwa suamiku menikah lagi. Rasanya dunia runtuh saat aku juga mengetahui bahwa ia telah memiliki anak lain yang usianya hanya terpaut tiga bulan dari anakku. Setelah perpisahan itu, aku memutuskan untuk melajang, fokus membesarkan anakku sendiri.

Pada tahun 2016, aku memutuskan pindah ke kota lain, jauh dari semua kenangan yang menyakitkan. Di tempat baru, aku mencoba berbagai pekerjaan. Namun, akhirnya aku memilih untuk menjadi orang tua penuh waktu karena aku tak tega meninggalkan anakku demi pekerjaan.

Tahun 2017, persoalan baru muncul ketika aku berselisih dengan keluarga Ayah soal harta gono-gini. Aku mempertahankan apa yang memang menjadi hakku dan anakku. Di tengah tekanan itu, tahun 2018, dokter mendeteksi adanya tumor jinak di leherku. Aku merasa seperti terus diuji tanpa henti.

Lalu tahun 2020 datang dengan pandemi yang menghantam usahaku. Banyak cabang usahaku terpaksa tutup, hutang mulai menumpuk hingga mencapai 80 juta. Aku tak punya pilihan selain berserah kepada Allah. Doa menjadi satu-satunya pelarian dan kekuatan.

Dua tahun kemudian, titik terang itu muncul. Aku berhasil melunasi hutang dan usaha mulai berjalan lagi. Tahun 2024, setelah sembilan tahun menunggu, aku akhirnya memutuskan membeli akta cerai sendiri. Rasanya lega, seakan membuka lembaran baru dalam hidupku. Kini, di tahun 2025, aku masih hidup. Bertahan, berjalan, dan tetap berjuang.

Aku mungkin tak sempurna, tapi aku selalu yakin bahwa semua luka dan cobaan ini akan menguatkanku. Dan aku tahu, meskipun sering merasa sendiri, aku punya Allah yang selalu mendampingi.


Photo by Martino Pietropoli on Unsplash