Posted in

Tiga Belas Tahun dan Sebuah Kalimat

Tiga Belas Tahun dan Sebuah Kalimat
Tiga Belas Tahun dan Sebuah Kalimat

Aku punya satu sahabat, sebut saja namanya Naya. Kami dekat sejak SMA—jenis kedekatan yang bikin orang mikir kami kembar. Ke mana-mana bareng. Tugas bareng. Liburan bareng. Dia bahkan sering nginep di rumah, dan keluargaku udah anggap dia kayak anak sendiri.

Lalu, datanglah masa itu. Masa di mana aku punya pacar. Seorang cowok yang kupikir tulus, dan ternyata tidak. Dia mengaku—dengan raut wajah tenang—bahwa dia telah selingkuh. Tapi bukan cuma itu. Dia selingkuh… dengan Naya.

Bukan dari Naya aku dengar kabar itu. Tapi dari dia. Dan saat aku konfrontasi Naya, dia minta maaf. Tapi aku tak sanggup memaafkan. Rasanya seperti dua orang paling dekat dalam hidupku saling menikam aku dari dua arah. Dan akhirnya… selama 13 tahun kami tidak bicara. Tidak satu sapa. Tidak satu pesan.

Tapi hidup, seperti biasa, punya cara membolak-balikkan perasaan.

Tiga belas tahun kemudian, aku memutuskan berdamai. Dengan rasa sakitku, dengan masa lalu, dan dengan Naya. Kami mulai bicara lagi. Pelan-pelan. Sampai akhirnya, kami kembali berteman. Aku pikir… mungkin memang luka bisa sembuh. Mungkin aku terlalu keras dulu. Mungkin, semua orang berhak atas kesempatan kedua.

Sampai beberapa minggu lalu.

Kami sedang duduk, santai, ngobrol seperti biasa, ketika dia tiba-tiba bilang:

“Gue sebenernya dulu nggak pernah pengen lo tau. Gue pengennya, lo nggak pernah tahu gue selingkuh sama dia. Tapi si anj*nk itu malah bangga banget ngaku ke lo.”

Dan di situ… aku membeku.

Kupikir dulu mantanku gentle, jujur, meski menyakitkan. Tapi ternyata dia cuma ‘bocor’. Dan Naya? Dia bahkan tidak pernah berniat untuk jujur. Dia hanya ketahuan. Kalau tidak, aku akan hidup dalam kebohongan. Duduk di pelaminannya. Main dengan anak-anaknya. Tertawa bersamanya. Sambil dia menyimpan rahasia yang menusuk punggungku.

Apakah aku salah karena memilih berteman lagi dengannya?

Apakah keputusan ini keliru?

Kupikir dulu aku sudah sembuh. Tapi ternyata aku hanya menyentuh permukaan luka. Kata-katanya membuka semuanya lagi—dan lebih parahnya, aku jadi sadar bahwa dia masih memandang itu sebagai sesuatu yang… bisa ditutupi, kalau saja mantan kami tidak ‘berkhianat’ pada kesepakatan diam mereka.

Aku mulai merasa bahwa pertemanan ini seharusnya tidak dilanjutkan. Bahwa kejujuran dan integritas bukan hal kecil dalam sebuah persahabatan. Karena bukan soal masa lalu yang menyakitkan, tapi bagaimana seseorang memilih untuk bersikap terhadap kesalahan mereka—dan terhadap kamu.

Mungkin, ini saatnya benar-benar selesai. Bukan dengan marah, bukan dengan benci. Tapi dengan sadar bahwa tidak semua orang, seberapa dekat pun dulu, layak kembali hadir dalam hidup kita yang sekarang.


Photo by Becca Tapert on Unsplash