Posted in

Menikah Tanpa Cinta: Aku Lelah Menjadi Asing di Rumah Sendiri

Menikah Tanpa Cinta
Menikah Tanpa Cinta

Ini pertama kalinya aku menulis utas. Jujur, aku cukup ragu saat mulai mengetik kalimat pertama ini. Tapi aku butuh tempat untuk bercerita, untuk sedikit melegakan isi kepalaku yang penuh sesak. Aku tidak berniat membuka aib rumah tanggaku. Aku hanya… lelah. Sangat lelah. Dan tidak tahu harus bagaimana lagi.

Sudah hampir dua tahun aku menikah. Pernikahan kami bukan karena cinta yang tumbuh dari proses panjang saling mengenal. Kami dijodohkan. Aku dan suamiku dulunya adalah dua orang asing yang bahkan belum pernah berbicara satu sama lain. Tapi karena kami masih punya hubungan keluarga – bisa dibilang sepupu jauh – akhirnya perjodohan itu dianggap hal yang wajar.

Waktu itu aku sempat berpikir panjang. Banyak sekali pertimbangan dalam hatiku. Tapi akhirnya aku mengikuti keinginan keluarga. Aku berharap, mungkin dari situ akan tumbuh cinta. Mungkin akan lahir pengertian, rasa nyaman, dan kebahagiaan seperti yang sering diceritakan orang-orang setelah menikah.

Tapi nyatanya, perjalanan rumah tanggaku tidak semulus harapanku.

Aku dan suamiku sangat berbeda. Kami seperti langit dan bumi. Sifat dan karakter kami bertolak belakang. Dan yang paling membuatku sulit adalah sifat kerasnya. Keras dalam tindakan, dalam perkataan, dalam segala hal. Aku merasa seperti hidup dalam tekanan. Seakan semua keputusan harus menurut versinya, semua hal harus berjalan seperti yang ia mau. Aku mencoba sabar, mencoba menyesuaikan diri, tapi lama-lama aku lelah.

Aku bingung harus bagaimana. Ingin pergi… tapi pikiranku langsung dipenuhi oleh banyak hal. Apa kata keluarga? Bagaimana masa depan? Bagaimana jika nanti aku menyesal? Tapi kalau bertahan, aku merasa kehilangan diriku sendiri, perlahan-lahan.

Dan yang lebih menyakitkan… aku tidak punya tempat untuk mengadu. Tidak ada pundak yang bisa aku sandari untuk sekadar menangis. Aku diam sendiri, menahan semuanya. Setiap malam aku hanya bisa menatap langit-langit kamar, bertanya dalam hati: “Sampai kapan aku harus begini?”

Mungkin aku menulis ini bukan karena aku ingin solusi instan. Aku hanya ingin suaraku terdengar. Bahwa aku lelah. Bahwa aku juga butuh dimengerti. Bahwa pernikahan tidak selalu tentang ‘asal dijalani pasti bisa’. Karena kenyataannya, tidak semua luka bisa sembuh hanya dengan waktu.


Photo by Beyza Yılmaz on Unsplash