Posted in

Luka Sebulan Pernikahan

Luka Sebulan Pernikahan
Luka Sebulan Pernikahan

Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Mungkin dari pengakuan ini aja: aku baru saja menikah, dan belum genap sebulan… aku sudah ditalak tiga.

Iya, kamu nggak salah baca. Sebulan. Bahkan belum cukup waktu untuk belajar bilang “suamiku” dengan terbiasa, aku sudah harus belajar bilang “mantan suamiku”. Dan yang paling menghancurkan, anakku… baru saja lahir.

Sejujurnya, aku tahu semua ini salah sejak awal. Dari awal hubungan kami, dia sering selingkuh. Berkali-kali. Sampai aku sendiri lupa sudah berapa kali aku memaafkan. Tapi tetap, aku bertahan. Aku pikir, cinta itu soal perjuangan. Aku pikir kalau aku cukup sabar, cukup setia, dan cukup ikhlas… semuanya bisa berubah. Tapi ternyata aku salah.

Tabiat itu nggak pernah berubah. Justru makin parah. Setelah kami menikah, dia bukan hanya tak berubah, dia seolah merasa punya kuasa untuk menyakitiku lebih dalam.

Aku menerima dia apa adanya. Aku berusaha jadi istri yang baik, ibu yang kuat, wanita yang tahan banting. Tapi ternyata semua itu malah menghancurkanku.

Aku bertahan karena anakku. Aku pikir, aku harus utuh supaya anakku tumbuh dalam keluarga. Tapi hari ini, setelah semua ini, aku mulai bertanya-tanya: apakah keputusanku salah? Apakah aku sedang menghancurkan diriku sendiri dengan dalih bertahan?

Sakitnya belum hilang. Luka ini masih basah. Tapi yang lebih menyakitkan, dia tak pernah benar-benar melihat aku berjuang. Dia pergi… semudah itu. Meninggalkan aku dan anak kami.

Sekarang, aku sendirian. Tapi aku juga seorang ibu. Dan walau rasanya seperti hancur, aku tahu satu hal: aku nggak boleh benar-benar runtuh.

Karena ada sepasang mata kecil yang menatapku setiap hari… berharap ibunya tetap kuat.

Dan mungkin, itu cukup jadi alasanku untuk bertahan — bukan untuk dia, bukan karena pernikahan yang gagal — tapi untuk diriku sendiri, dan untuk anakku.


Image by Artvizual from Pixabay