Posted in

Cerita dari Seorang Tukang Service TV

Cerita dari Seorang Tukang Service TV
Cerita dari Seorang Tukang Service TV

Ini cerita tentang bapakku. Seorang tukang service TV di Jakarta sejak tahun 90-an. Hidupnya sederhana, tapi penuh semangat. Dari pagi hingga malam, beliau mengayuh motor tuanya, mendatangi satu per satu pelanggan yang TV-nya bermasalah. Semua itu ia lakukan demi keempat anaknya — demi kami, keluarganya.

Aku ingat suatu kali Bapak bercerita tentang pengalaman yang tak pernah bisa aku lupakan. Waktu itu ada panggilan dari sebuah toko besar yang berlokasi di sebuah ruko. Pemiliknya tinggal di lantai dua, tepat di atas tokonya. TV mereka rusak. Saat Bapak datang, tidak ada seorang pun di lantai dua untuk membantu. TV-nya besar, berat, dan harus dibawa turun sendiri. Tapi Bapak tidak mengeluh. Ia pikul TV itu seorang diri menuruni tangga sempit, disaksikan para karyawan toko.

Di lantai bawah, Bapak memperbaiki TV itu dengan penuh konsentrasi. Kabel-kabel kecil, sirkuit rumit, semua ditangani dengan tangan terampilnya. Setelah selesai, ia angkat lagi TV itu ke lantai dua — sendirian — dan memasangnya kembali di tempat semula.

Usai bekerja keras, Bapak turun untuk meminta bayaran jasa sebesar 50 ribu. Jumlah yang kala itu cukup besar. Tapi karyawannya bilang pemilik toko sedang tidak ada. Tidak berani mengambil uang dari laci kasir. Padahal, kata Bapak, si pemilik toko sempat melihat Bapak datang dari lantai atas. Harusnya ia tahu ada biaya yang harus dibayar.

Tapi Bapak memilih untuk berpikir positif. “Mungkin nanti kalau lewat lagi, aku mampir,” katanya.

Seminggu kemudian Bapak lewat toko itu lagi. Ia mampir. Tapi pemilik toko masih tidak ada. Itu terulang sampai tiga kali. Akhirnya, Bapak menyerah. Uang itu memang haknya. Tapi ia tak mau memaksa.

Lalu ada satu cerita lagi — yang aku lihat sendiri.

Ada seorang pedagang jagung rebus di sekitar rumah. Suatu hari dia datang membopong TV besar di pundaknya. Katanya rusak, dan ia minta tolong diperbaiki. Setelah selesai, Bapak bilang, “Dua puluh ribu aja, Pak.”

Bapak juga menawarkan untuk mengantar TV-nya nanti sore dengan motor. Tapi si bapak penjual jagung menolak. Dia bilang akan datang sendiri saja untuk mengambil.

Dan benar, sore harinya beliau datang. Tanpa alas kaki. Aku yang membukakan pintu.

“Pak, kata Bapak nanti sore TV-nya mau dianter aja,” kataku.

Beliau hanya tersenyum dan menyelipkan selembar uang ke tanganku. “Nggak apa-apa, Nak. Ini titip buat Bapak.”

Aku lihat uangnya — lima puluh ribu.

“Sebentar ya, Pak. Kembaliannya saya ambilkan dulu,” kataku, karena Bapak sudah berpesan: ongkosnya hanya dua puluh ribu.

Tapi si bapak menahan tanganku. “Nggak usah. Ambil aja kembaliannya. Terima kasih ya.”

Di situ aku tertegun. Seorang pedagang kecil, penjual jagung rebus dengan untung harian yang tak seberapa, datang tanpa alas kaki, membopong sendiri TV berat, tak mau merepotkan siapa pun. Tapi begitu menghargai jasa Bapakku. Lebih dari pemilik toko besar di pinggir jalan raya itu.

Ironi kehidupan kadang begitu nyata. Yang besar belum tentu punya hati besar. Yang kecil justru tahu caranya menghormati.

Kini, Bapakku sudah tua. Matanya tak setajam dulu. Tangannya tak selincah dulu saat membedah mesin TV. Tapi cerita-cerita tentang kerja keras, kejujuran, dan keteguhannya tetap hidup — dan akan selalu aku kenang. Karena dari dialah aku belajar, bahwa harga diri tidak bisa dinilai dengan uang, dan kebaikan sering datang dari arah yang tak disangka.


Photo by Ajeet Mestry on Unsplash