Posted in

Bukan Langit yang Kupeluk

CEO dalam Kenangan
CEO dalam Kenangan

Kadang, kenangan muncul bukan karena ingin diingat, tapi karena tiba-tiba hadir begitu saja—seperti pagi ini, ketika aku sedang melipat cucian, lalu entah kenapa wajah Langit kembali muncul di kepalaku.

Langit. Si CEO itu sekarang.

Iya, asli. CEO.
Dulu kami satu departemen. Dia laki-laki wattpadable: tinggi, atletis, pintar, disayang dosen, dan public speaking-nya bikin satu auditorium bisa diam mendengarkan. Waktu kuliah dulu, aku naksir dia setengah mati. Sampai sekarang, aku masih nyimpen foto kami berdua saat jadi panitia event besar kampus. Waktu itu, kami mulai dekat. Saling kirim pesan via BBM, ngobrolin rundown acara yang kadang menyerempet ke urusan hati.

Aku ingat jelas, dia cerita kalau sudah putus dari pacarnya sejak SMP. Aku juga—lagi putus dari pacar sejak SMA, Fikri namanya. Jadi ya, seolah semesta sedang memberikan ruang. Tapi nyatanya, semesta tidak sesederhana itu.

Nina, teman sekelas Langit yang dekat denganku, bilang,
“Ngapain sih suka Langit. Masih mending Fikri.”
Dia bahkan sering ngomel kalau aku nanya-nanya soal Langit. Padahal, hatiku penuh rasa penasaran.

Langit itu… ah, terlalu memesona. Tapi kata Nina, dia masih deket sama mantannya, Salsa. Bahkan pernah boncengin Salsa pakai motornya yang gede itu. Tapi anehnya, setiap aku bicara dengan Langit, dia selalu merespons dengan hangat dan sopan. Bahkan pernah marah ke orang yang ganggu aku. Jadi gimana aku gak makin klepek-klepek?

Pernah, waktu pulang dari acara kampus, aku balik ke rumah orang tua. Jaraknya tiga jam naik motor. Dan sesampainya di rumah, aku lihat status BBM Langit:
“Hati-hati di jalan ya, yang rumahnya jauh di sana.”

Terbang. Hatiku, bukan motornya.

Dan semester berikutnya, kami akhirnya satu kelas. Kami makin dekat. Kadang jalan bareng ke kelas, ngobrol, becanda. Tapi… justru di situ aku sadar: mungkin aku gak sesuka itu sama dia. Atau mungkin ada sesuatu yang ganjil yang pelan-pelan mengikis rasa kagumku.

Satu kejadian jadi titik baliknya. Kami berencana jalan-jalan bareng. Ada lima orang, termasuk Langit yang jadi supir. Aku udah transfer 100 ribu buat sewa mobil dan bensin. Tapi hari H, aku batal ikut. Pas minta uangku balik, Langit bilang itu hangus. Karena aku yang batalin. Aku bengong. Ini bukan acara kampus, cuma jalan-jalan santai. Tapi kenapa kesannya formal banget? Kejam, pikirku waktu itu. Teman-teman lain bahkan bilang aku minta aja lagi ke Langit. Tapi aku udah malas. 100 ribu itu besar buat anak kos kayak aku. Tapi aku pilih mundur—secara halus.

Beberapa minggu kemudian, gosip besar menyebar: Langit dipanggil Dekan karena diduga korupsi dana panitia event kampus. Siapa yang gak syok? Dia yang selalu tampil necis, disayang dosen, dan gigih cari uang. Tapi dia tetap masuk kelas seperti biasa, bercanda seakan tak terjadi apa-apa.

Baru setelah itu Nina cerita: ternyata Langit juga suka aku. Bahkan sempat minta Nina bantu. Tapi Nina bilang ke dia kalau aku masih cinta mati sama Fikri. Bohong. Nina cuma pengen aku jauhi Langit, karena baginya Fikri jauh lebih baik. Dan status BBM Langit waktu itu… ternyata memang buat aku.

Sayangnya, perasaanku udah padam. Bahkan, ketika suatu hari kami duduk bareng lagi—saat dia sudah balikan dengan Salsa, dan aku balikan dengan Fikri—semua rasanya hambar.

Dia bilang, dia dan Salsa sedang bangun rumah bareng. Salsa bantu secara finansial. Katanya, perempuan yang paling mengerti dia cuma Salsa. Mau seperti apa kelakuannya, Salsa tetap terima.

Tapi gosip tak berhenti. Kata Nina, Salsa pernah numpang rekening ke dia untuk transfer uang misterius. Bahkan ngasih Nina beberapa lembar uang sebagai “terima kasih.” Dari siapa? Untuk apa? Gak ada yang tahu pasti.

Sekarang, mereka ada di puncak. Langit dan Salsa menjalankan perusahaan sendiri. Sering kulihat story mereka jalan-jalan ke luar negeri, belanja barang branded. Tapi aku gak iri. Aku cuma… teringat.

Toh, aku gak berjodoh juga dengan Fikri. Setelah tujuh tahun bersama, Fikri meninggal dunia. Hati ini kosong cukup lama. Tapi tak pernah terasa kehilangan Langit. Mungkin karena dia memang tak pernah benar-benar sampai ke hatiku.

Begitulah, Langit akhirnya tinggi—seperti namanya. Tapi dia bukan langit yang kupeluk. Hanya bayangan masa lalu… yang kadang singgah, lalu pergi lagi.


Image by Graphix Made from Pixabay