Posted in

Basah Kuyup, Tapi Masih Berdiri

Basah Kuyup, Tapi Masih Berdiri
Basah Kuyup, Tapi Masih Berdiri

Hai semuanya…
Aku cuma ingin bercerita. Mungkin ini bukan kisah yang rapi atau penuh inspirasi. Tapi ini nyata. Ini aku.

Aku sedang ada di titik terendah dalam hidupku.
Pernah merasa memilih seseorang karena kamu yakin dia bisa berubah? Aku pernah. Tapi ternyata, harapan itu cuma tumbuh di kepalaku. Kenyataannya, yang aku nikahi adalah laki-laki yang manipulatif, penuh kebohongan, dan jauh dari cara berpikirku. Dan aku tidak hanya terluka — aku hancur. Hubungan kami berdampak sampai ke keluargaku. Sampai akhirnya, aku memilih untuk berhenti. Aku mengakhiri semuanya… dan memutuskan untuk membesarkan anak perempuanku sendiri. My baby girl. Dia adalah alasanku bertahan.

Tapi… luka ini masih ada.
Bukan dendam, bukan. Tapi rasa sakit. Seperti duri yang tertanam dalam, tak kelihatan tapi ngilu setiap disentuh. Ekonomiku porak-poranda. Karierku terhenti. Seolah dunia memutuskan untuk diam saat aku masih jatuh.

Mungkin semua ini sudah terasa seperti tumpukan luka yang tak berkesudahan.
Sebelum menikah pun, aku sudah membawa luka lain: orang tuaku bercerai. Ayahku… terlihat baik di luar, tidak aneh-aneh, tidak mabuk-mabukan. Tapi diam-diam berjudi, berhutang, dan… menikah lagi tanpa sepengetahuan kami. Semua itu terungkap ketika aku SMA. Sejak itu, aku tahu: tidak semua luka datang dengan suara keras. Beberapa hanya sunyi… tapi menghancurkan.

Aku pernah coba bicara dari hati ke hati dengan ayahku. Tapi jawabannya selalu sama: “Kamu anak, aku orang tua.” Tidak ada ruang bagi anak untuk bersuara, apalagi didengar. Sampai akhirnya, dia pergi — stroke yang merenggut semuanya… dan aku belum sempat bicara dengannya. Belum sempat bilang, “Aku juga terluka, Yah…”

Aku anak pertama dari tiga bersaudara.
Dengan jarak usia kami yang jauh dan semua yang harus aku tanggung sendiri, rasanya… yah, aku bagian dari generasi sandwich itu. Yang terhimpit dari segala sisi, yang harus kuat padahal dalam hati ingin rebah.

Lalu di usia 27, aku menikah. Saat lukaku belum sembuh, aku memilih pasangan yang salah lagi. Apa ini karma dari dosa-dosa ayahku? Atau mungkin luka bawah sadarku yang belum sembuh dan memengaruhi pilihanku?

Aku sering bertanya,
“Apakah semua laki-laki seperti ini? Tidak bisa dipercaya? Tidak ada yang tulus?”
Tapi aku juga tahu — itu perasaanku yang sedang basah kuyup. Basah oleh luka masa kecil, kecewa karena cinta pertama, dan harapan yang patah berkali-kali.

Aku ingin sembuh.
Aku ingin percaya lagi. Bukan hanya pada orang lain, tapi pada diriku sendiri. Bahwa aku pantas bahagia. Bahwa aku bisa memulai dari awal, meskipun dari titik nol.

Aku tidak ingin terus hidup dalam persepsi negatif tentang cinta, tentang laki-laki, tentang hidup. Tapi, jalan ke sana masih panjang… Masih berkabut. Tapi aku jalanin saja, setapak demi setapak.

Hari ini, aku cerita. Supaya besok aku bisa sedikit lebih ringan.
Karena meski basah kuyup… aku masih berdiri.


Photo by Sandy Millar on Unsplash