Posted in

Makeup, Selingkuh, dan Calypsa

Makeup, Selingkuh, dan Calypsa
Makeup, Selingkuh, dan Calypsa

Baiklah, akan aku ceritakan sebuah kisah yang kupendam bertahun-tahun. Tentang seorang model cantik, mantan teman kuliah, yang ternyata… selingkuh selama aku sedang belajar makeup wedding.

Tahun 2021, aku ambil kursus makeup pengantin di salah satu MUA hits di Bandung. Sebagai bagian dari latihan, aku butuh model untuk praktik. Lalu muncullah ide: kenapa tidak ajak teman kuliahku dulu? Dia mantan model, wajahnya cantik sekali, sangat fotogenik. Kutawari jadi modelku, dengan deal sederhana—aku tanggung makan siang dan ongkos. Dia setuju. Aku pun senang, pikirku ini akan jadi sesi latihan yang menyenangkan.

Hari H, kami berangkat bareng ke studio MUA. Tapi baru di perjalanan saja aku mulai merasa ganjil. Si teman ini super sibuk dengan ponselnya: chatting, voice note, nelpon, bahkan videocall. Awalnya kupikir suaminya yang menelepon, kan dia sudah menikah dan punya satu anak. Tapi… ternyata bukan.

“Pacarku,” katanya dengan nada bangga. “Duda, kaya.”

Aku terdiam. Astaga. Selingkuh? Di tengah perjalanan menuju kursus makeup wedding? Ironi yang menusuk.

Sampai di studio, kursus dimulai. Aku mengikuti arahan coach dengan sungguh-sungguh. Tapi baru saja foundation disapukan ke wajahnya, dia sudah rewel.

“Gak mau ah, ini tebal banget!”

Aku sabar menjelaskan, “Aku cuma ikutin contoh coach. Ini makeup pengantin, wajar kalau coverage-nya maksimal.”

Protesnya gak berhenti sampai di situ. Saat aku pakaiin eyeliner, dia mengeluh lagi.

“Gak suka, panjang dan tebal banget!”

Aku mulai kesal, tapi tetap menjaga nada, “Kamu kan model. Aku bayar kamu juga. Yuk, bantu aku belajar dengan benar.”

Wajahnya cemberut. Tapi itu belum seberapa.

Selama aku merias wajahnya, dia terus saja main HP. Chatting mesra, voice note manja, hingga videocall dengan si “Aa”—sebutannya untuk si duda. Di depan semua orang, termasuk coach-ku.

“Liat nih Aa,” katanya sambil menghadap kamera. “Tebel banget ya makeup-nya. Aku gak sukaaa~”

Coach-ku sampai menegur. Wajahku panas karena malu. Aku coba tegas, minta dia simpan HP sebentar saja. Tapi jawabannya bikin aku makin ternganga:

“Ini satu-satunya waktu aku bisa bebas teleponan sama Aa. Di rumah gak bisa, ada suamiku.”

Waktu aku pasangkan bulu mata palsu, dia menolak dua lapis seperti yang dicontohkan coach. Maunya satu lapis aja. Coach sampai kesal. Tapi aku tetap pasang dua lapis, sesuai instruksi.

Akhirnya makeup selesai juga. Dia kupakaikan kebaya dan aksesori lengkap. Dan saat sesi foto, dia lumayan bisa pose—maklum, mantan model. Tapi selesai foto? Langsung videocall lagi dengan si duda.

“Cantik gak Aa?” tanyanya dengan suara lembut yang menjijikkan bagiku saat itu.

“Cantik sih, tapi makeup-nya gak natural,” jawab si cowok.

Aku langsung nyeletuk, “Namanya juga makeup wedding. Kalau mau natural ya jangan pake makeup, biar kayak bangun tidur.”

Calypsa—begitu aku mulai memanggilnya dalam hatiku—mendelik ke arahku.

Selesai sesi, aku tetap ajak dia makan, seperti janji di awal. Tapi sepanjang makan dia diam saja. Main HP terus, seolah aku ini tukang ojek alih-alih temannya sendiri.

Beberapa minggu kemudian, dia nge-chat aku.

“Mau dong jadi model lagi. Tema Arabic ya kali ini.”

Oh tidak. Aku sudah cukup. Aku tolak halus, dan akhirnya malah membuat makeup Arabic di wajahku sendiri. Kuposting hasilnya, dan tahu apa? Dia marah!

“Kenapa bukan aku aja yg jadi model?”

Aku hanya menjawab dalam hati: Cukup ya, Calypsa.


Image by CihanU44 from Pixabay