Posted in

Yang Diuji dan Yang Menang

Yang Diuji dan Yang Menang
Yang Diuji dan Yang Menang

Suamiku punya kenalan seorang ikhwan—seorang pria sederhana, lembut, dan penyabar. Sosok yang dalam diamnya menyimpan kekuatan besar. Dulu, ia menikah dengan seorang akhwat yang dikenal sangat cantik. Semua orang iri pada pernikahan mereka. Sepasang suami istri muda dengan dua anak yang terlihat sempurna di luar.

Tapi di balik pintu rumah, kenyataan berbicara lain.

Anak-anak mereka tumbuh dengan kondisi stunting. Sudah beberapa kali kontrol ke dokter, dan hasilnya membuat hati ayah mereka tercabik. Dokter bilang, “Anak ini kurang gizi… sepertinya tidak terurus dengan baik di rumah.” Dan betapa hancurnya hati si Ikhwan, karena ternyata itu benar.

Sang istri lebih sibuk bermain Facebook. Bangun siang, tak masak, tak mengurus anak, bahkan cucian pun dibiarkan menumpuk. Semua urusan rumah, dari masak sampai beres-beres, dilakoni oleh sang suami sepulang kerja. Tapi tak pernah sekalipun ia mengeluh. Ia sabar. Teramat sabar.

Hingga suatu hari… kesabaran itu benar-benar diuji.

Ia mendapati kenyataan pahit: istrinya berselingkuh dengan teman lamanya di Facebook. Rasa sabarnya yang selama ini ia peluk erat—luruh. Ia sadar, ini bukan lagi tentang dirinya, tapi tentang anak-anaknya yang butuh sosok ibu yang hadir, bukan yang sibuk mengejar bayang cinta lama.

Akhirnya… ia menceraikannya. Anak-anak ia asuh sendiri. Dan benar, sang istri tak menoleh sedikit pun. Bahkan tak lama setelahnya, ia menikah dengan pria selingkuhannya itu.

Waktu berlalu. Sang ikhwan, dalam kesendiriannya, terus berusaha menjadi ayah dan ibu sekaligus. Hingga takdir mempertemukannya dengan seorang akhwat. Perempuan ini berbeda—lebih tua usianya, tapi begitu keibuan dan penuh perhatian. Mereka menikah, dan sejak itu, hidupnya berubah total.

Ia sering berkata, “Saya nggak pernah ngerasain bahagia kayak sekarang. Pulang dicium tangan, dimasakin, rumah bersih, anak-anak diperhatikan. Rasanya kayak disayang beneran.”

Baru kali ini ia merasa menjadi “raja” dalam rumah sendiri.

Tapi… tak ada yang menyangka plot twist yang datang kemudian.

Suatu hari, pintu rumahnya diketuk. Di luar berdiri pria yang dulu menjadi suami dari mantan istrinya.

Dengan wajah lesu dan suara bergetar, lelaki itu berkata:

“Maaf, ustadz… saya nggak sanggup lagi. Saya mau kembalikan dia ke ustadz.”

😶😶😶

Si Ikhwan hanya tersenyum datar. Dalam hati, dia berkata:

“Lah… saya bukan tukang retur istri, Bang.”

Dan begitulah… kehidupan mengajarkan, bahwa bukan rupa yang menjamin bahagia. Tapi akhlak, adab, dan hati yang sungguh-sungguh mau menjadi rumah bagi pasangannya.


Image by Marie from Pixabay