Posted in

Lingkaran Kebaikan

Lingkaran Kebaikan

Siang itu panas menyengat, tapi tubuh Anton justru merinding saat meletakkan ponselnya di meja. Napasnya tertahan. Hatinya penuh gejolak. Ia baru saja menerima telepon—bukan dari klien, bukan dari keluarganya. Tapi dari seseorang yang hampir tak pernah ia bayangkan kembali muncul dalam hidupnya. Telepon itu datang tepat di jam makan siang, di tengah hiruk-pikuk kantor yang sedang lengang.

Nada di ujung telepon itu terdengar bahagia, namun jelas terbungkus haru.
Hari ini, Anton menerima seorang karyawan baru. Seorang ibu berusia 58 tahun.
Namanya Bu Retni.

Wanita itu datang dengan senyum lelah namun tulus. Di tangannya tergenggam map berisi CV dan fotokopi ijazah. Di matanya, ada harapan yang perlahan meredup, namun belum padam. Ia masih memiliki satu anak yang duduk di bangku SMU. Mereka tinggal berdua, sejak suaminya meninggal saat pandemi melanda negeri.

Tapi kisah ini bukan hanya tentang seorang ibu yang mencari pekerjaan. Kisah ini dimulai puluhan tahun lalu.

Saat itu, Anton baru saja lulus kuliah. Anak muda penuh semangat, namun kosong pengalaman. Ia lamar kerja ke sana-sini—dan selalu ditolak. CV-nya hanya dilirik sekilas, lalu dikembalikan. Tak ada yang percaya padanya. Tak ada yang sudi memberi kesempatan.

Hingga satu hari, datanglah sebuah surat panggilan kerja dari perusahaan kecil yang bergerak di bidang logistik. Pimpinan perusahaannya—ya, Bu Retni.

Anton masih ingat jelas detik-detik wawancara itu. Ia gugup, pakaiannya lusuh, dan jawabannya terbata. Ia tahu dirinya tak memenuhi syarat. Latar belakangnya bukan dari bidang logistik, bahkan nyaris tak punya pengalaman organisasi.

Tapi Bu Retni hanya tersenyum dan berkata:

“Saya percaya kamu mau belajar. Saya percaya kamu bisa.”

Satu kalimat itu—menjadi titik balik hidup Anton. Ia diterima kerja. Ia belajar dengan cepat. Ia berkembang. Dan dalam beberapa tahun, kariernya melejit ke tingkat manajerial. Dari sana, pintu-pintu lain terbuka. Ia pindah ke perusahaan besar, mendirikan startup, dan akhirnya memiliki perusahaannya sendiri.

Tapi kehidupan terus berputar. Waktu berjalan. Anton kehilangan kontak dengan Bu Retni. Ia hanya tahu bahwa perusahaan lamanya tutup, dan Bu Retni pensiun dini.

Lalu pandemi datang.

Suami Bu Retni meninggal dunia. Ia tak punya penghasilan tetap. Tabungan menipis. Anaknya masih butuh biaya sekolah. Maka, dengan sisa tenaga dan harapan, ia mulai melamar pekerjaan lagi. Tapi siapa yang mau menerima wanita hampir 60 tahun, apalagi di masa krisis?

Lamaran demi lamaran ia kirim. Tak ada balasan.

Hingga satu hari, sebuah surat lamaran mendarat di meja HRD perusahaan Anton. Nama pelamarnya membuatnya terdiam. Retni Karima.

Ia tak percaya. Dunia seperti memutar kembali kaset lama di kepalanya. Wanita yang dulu membuka pintu hidupnya… kini berdiri di ambang pintu miliknya. Tapi dengan posisi terbalik.

Tanpa pikir panjang. Tanpa proses panjang. Anton turun langsung ke ruang HRD. Ia baca surat lamaran itu berulang-ulang, lalu berkata, “Undang beliau ke sini. Hari ini juga.”

Dan saat Bu Retni datang, Anton menyambutnya dengan senyum yang menggetarkan hati.

“Bu, ini saatnya saya percaya pada Ibu. Sama seperti dulu Ibu percaya pada saya.”

Ia bukan hanya menerimanya bekerja kembali. Anton juga memberikan beasiswa penuh untuk anak Bu Retni.

Sore itu, mata Bu Retni berkaca-kaca. Bukan karena iba—tapi karena lingkaran kebaikan akhirnya berputar sempurna.


Photo by Resume Genius on Unsplash