Posted in

Sumur di Tanah Siapa?

Sumur di Tanah Siapa?
Sumur di Tanah Siapa?

Di sebuah kampung yang tenang, tinggal seorang pemuda bernama Anton. Ia baru saja membeli sebidang tanah dari seorang pensiunan guru tua bernama Pak Arman. Di tanah itu sudah berdiri sebuah rumah sederhana dan sebuah sumur tua yang dalam. Sumur itu, kata Pak Arman, sudah ada sejak zaman dulu dan menjadi satu-satunya sumber air bersih di halaman rumah.

Tak jauh dari rumah Anton—sekitar 500 meter jauhnya—tinggal pasangan paruh baya: Bu Selvi dan Pak Darto, tetangga lama yang sudah bermukim di sana bahkan sebelum Anton membeli tanah.

Beberapa tahun lalu, saat Anton membeli tanah itu, ia sempat bertanya sopan kepada Bu Selvi, “Maaf Bu, apakah pompa yang terpasang di sumur ini milik Ibu?”

Alih-alih menjawab jelas, Bu Selvi malah tertawa singkat. “Ngapain tanya-tanya? Mau ikut numpang juga kah?”

Anton menganggap itu sebagai candaan, dan karena tak ada konflik air, ia biarkan saja pompa tua itu tetap berdiri di bibir sumur. Lagipula, airnya tak pernah kurang.


Hingga pada suatu sore yang hujan deras, Anton mendengar suara benda jatuh—duakk!—disusul percikan air. Ia keluar dan mendapati bahwa pompa milik Bu Selvi ternyata roboh dan tercebur ke dalam sumur. Dengan itikad baik, Anton segera mengabari.

Tak berselang lama, datanglah Bu Selvi bersama tiga orang tukang dan satu gerobak penuh semen. Tanpa sepatah kata pun padanya, mereka langsung bekerja: menyemen bibir sumur milik Anton. Anton hanya bisa melongo, merasa aneh tapi masih menahan diri.

Namun, keanehan tak berhenti di situ. Malamnya, Bu Selvi datang menggedor pintu rumahnya. Di tangannya, tergenggam selembar kertas bertuliskan:
Tagihan: Rp2.100.000.

“Ini untuk biaya penyemenan tadi. Harap segera dilunasi,” ucapnya dingin.

Anton mengernyit. “Lho, Bu? Kenapa saya yang bayar?”

Bu Selvi mendengus, “Karena kita sama-sama menumpang di sumur itu!”

Anton menghela napas panjang. “Sumur itu berada di tanah saya, Bu. Dan saya tidak merasa pompa saya bermasalah.”

“Sumur itu dulunya milik Pak Arman!” bentaknya.

“Iya, betul. Tapi sekarang tanah ini—beserta sumurnya—sudah saya beli dari beliau,” kata Anton sambil masuk ke dalam rumah dan kembali membawa sertifikat tanah.

Ia menunjukkannya, berharap perdebatan selesai. Tapi Bu Selvi tetap ngeyel. Seolah tak paham proses jual beli, ia masih ngotot bahwa sumur itu bukan milik Anton.

Akhirnya Anton berkata tegas, “Saya tidak keberatan Ibu menumpang air. Tapi setidaknya, sebelum menyemen sumur saya, bicaralah dulu.”

Bu Selvi justru naik pitam. “Tetangga sebelah rumah juga sumurnya dipakai bareng. Tapi yang numpang itu baik, tiap tahun ngasih beras!”

Anton pun menyindir pedas, “Nah, itu bedanya. Yang numpang tahu diri.”

Dengan wajah merah padam, Bu Selvi naik motornya dan tancap gas, meninggalkan Anton yang masih berdiri di ambang pintu.


Keesokan harinya, Pak Darto datang dengan wajah penuh rasa bersalah. Ia melepas semua instalasi pompa dan selang miliknya. “Maafkan istri saya, Ton,” katanya.

Anton hanya mengangguk. Ia pun tak ingin memperpanjang urusan, apalagi ia tengah disibukkan dengan persiapan pernikahan.

Beberapa minggu kemudian, setelah resepsi selesai dan kehidupan barunya dimulai, Anton mengajak istrinya bertandang ke rumah Bu Selvi. Ia juga mengajak mereka bicara baik-baik di rumah Ketua RT.

“Saya minta maaf kalau kemarin kata-kata saya menyinggung. Saya juga tidak ada niat mempermalukan,” ucap Anton tulus.

Bu Selvi menyambut dingin tapi menerima. Namun sebelum mereka pamit, ia berkata sinis, “Yah, saya maklumi lah… namanya juga anak kemarin sore.”

Anton hanya tersenyum pahit. Mereka memang seumuran, tapi karena Bu Selvi menikah muda, ia merasa paling senior dan paling paham segala hal. Padahal…

Kalau urusan tanah dan sumur, hukum tetap bicara.


Image by ddzphoto from Pixabay