Posted in

Karma di Bawah Langit Tokyo

Karma di Bawah Langit Tokyo
Karma di Bawah Langit Tokyo

Dulu, di sebuah ruko kecil di pinggiran kota, Armand membangun bisnis impiannya dari nol. Ia memulai dengan modal pas-pasan, semangat tinggi, dan satu pegawai setia: Dika. Seorang lulusan SMA yang polos, tapi cekatan. Armand memberinya kepercayaan penuh.

“Gaji kamu mulai dari lima juta. Makan, tempat tinggal, semua aku tanggung. Tapi kamu harus siap kalau bulan depan harus urus pengiriman barang ke Jepang,” kata Armand suatu malam sambil mengecek stok mainan edisi koleksi yang akan dikirim.

Dika mengangguk. Ia seperti anak ayam yang baru menetas dan mendapati dunia begitu penuh warna. Tokyo jadi destinasi rutinnya. Setiap bulan ia bolak-balik ke sana, bawa titipan dan urusan penting perusahaan.

Namun, di balik wajah ramah dan senyum sopan itu, Dika menyimpan rencana gelap. Sedikit demi sedikit, ia mulai memotong aliran uang, memalsukan kwitansi, bahkan menjual produk tanpa sepengetahuan Armand.

Sampai suatu hari, semua meledak. Uang ratusan juta raib. Usaha nyaris ambruk. Armand termenung di depan etalase kosong. Modal habis. Reputasi nyaris hancur.

Teman-temannya menyarankan lapor polisi. Tapi Armand hanya menggeleng. “Mau makan waktu dan duit lagi. Sekarang aku bahkan gak punya itu semua.”

Dika kabur. Hilang bagai bayangan senja yang menggelap cepat.

Tapi Tuhan punya cara sendiri memutar roda kehidupan.


Bertahun-tahun berlalu.

Armand bangkit. Perlahan, ia bangun bisnis baru, lebih besar, lebih matang, dan jauh lebih kokoh. Dulu cuma untung puluhan juta sebulan, sekarang penghasilannya tembus ratusan juta. Angka 3 digit jadi biasa di laporan keuangan.

Suatu sore, terdengar ketukan lemah di pintu rumahnya. Armand membuka, dan di hadapannya berdiri sosok kurus dengan mata sembab.

Dika.

Tubuhnya tak lagi gempal seperti dulu. Pipi tirus, baju lusuh, dan wajah penuh penyesalan.

“Aku… cuma mau minta maaf, Bang…” katanya lirih. “Sekarang hidupku hancur. Aku buron. Ternyata bukan cuma abang yang aku tipu… ada banyak. Aku bodoh. Sekarang, kerja serabutan, gaji gak sampai sejuta. Kadang makan nasi sama garam pun bersyukur…”

Armand menatapnya lama, lalu menepuk pundaknya pelan.

“Aku udah maafin kamu dari dulu, Dik. Tapi maafku gak akan bisa ngubah hidupmu. Kamu sendiri yang harus jalanin akibatnya.”

Dika menunduk. Ia tak berharap apa-apa lagi. Sekadar diberi kesempatan menyesal pun baginya sudah cukup.

Saat langkah Dika menjauh dari rumah Armand, ia tahu: ini bukan akhir. Tapi permulaan dari penebusan panjang yang harus ia jalani sendiri.

Dan Armand? Ia kembali masuk rumah, tersenyum kecil. Ia tahu, semesta sedang menuliskan cerita baru untuknya — cerita tentang kebangkitan yang tak perlu balas dendam, cukup dengan keikhlasan… dan kesuksesan.


Photo by Sarah Elizabeth on Unsplash