Posted in

Perempuan Paling Tangguh yang Pernah Aku Kenal

Perempuan Paling Tangguh yang Pernah Aku Kenal
Perempuan Paling Tangguh yang Pernah Aku Kenal

Namaku Aira. Usia 30 tahun. Seorang istri dan ibu dari dua anak. Aku pikir aku cukup kuat—aku bekerja, aku membesarkan anak-anak, aku mengurus rumah, dan aku bisa berdiri sendiri jika suamiku menyakitiku.

Tapi ternyata, aku belum ada apa-apanya dibandingkan perempuan itu. Ibuku.

Tahun ini usianya 90 tahun. Tapi sorot matanya tetap tajam, pikirannya tetap jernih. Beliau masih kuat berdiri untuk salat malam, masih disiplin dengan puasa Senin-Kamis, masih setia menyuapi ayahku yang kini lumpuh sejak tahun 1998. Iya, ayahku yang sama—yang pernah menyakiti hatinya sembilan kali dengan perempuan lain. Bahkan menikah sah secara agama dengan sembilan perempuan, dengan restu istri pertamanya: ibuku.

Dulu saat aku kecil, aku tidak tahu apa-apa. Aku tumbuh dengan kasih sayangnya, dididik olehnya, ditimang, dirawat, disekolahkan, ditanamkan nilai-nilai hidup yang luhur. Aku merasa dicintai sepenuh hati. Tapi baru minggu lalu aku tahu satu kebenaran yang membuatku terdiam sepanjang perjalanan pulang dari rumah beliau.

Aku bukan anak kandungnya.

Aku adalah anak dari istri ke-8 ayahku. Dilahirkan oleh ibu kandungku yang sakit keras pascamelahirkanku dan tak mampu mengurusku. Lalu ibuku—ya, beliau yang selama ini kupanggil ibu, istri pertama ayahku—menggendongku, menyusuiku dengan tangan cinta yang tak membedakan darah siapa yang mengalir di tubuhku.

Aku bertanya kepadanya, dengan hati yang gundah tapi penuh rasa hormat, “Ibu, kenapa dulu Ibu gak pergi aja? Ayah sudah selingkuh berkali-kali. Ibu tahu, tapi tetap bertahan. Bahkan mengizinkan ayah menikah lagi, berkali-kali. Kenapa, Bu?”

Beliau menatapku, lama. Lalu perlahan berkata dengan suara yang tenang namun dalam, “Nabi Muhammad pernah berkata, sebagian besar penghuni neraka adalah perempuan. Ibu takut masuk neraka, Nak. Ibu ingin jadi istri sholehah. Ibu ingin ridho Allah, dan ridho Allah ada pada ridho suami. Itu saja. Bukan karena anak-anak. Bukan karena takut hidup sendiri. Tapi karena ibu hanya ingin jadi istri yang sholehah.”

Aku tertegun.

Tangisku tak bisa kutahan. Aku memeluk tubuh ringkihnya. Betapa kecilnya aku di hadapan perempuan yang luar biasa ini. Perempuan yang kaya raya, mandiri, cerdas, bahkan pernah punya 40 rumah kontrakan, lima mobil, ratusan gram emas, tapi memilih patuh. Bukan karena lemah. Tapi karena taat. Karena yakin. Karena mengejar surga.

Ibuku, perempuan yang memasak sendiri untuk suaminya meski ada tiga asisten rumah tangga. Yang memijat punggung ayahku setiap malam. Yang tetap menyediakan air hangat untuk ayah bahkan saat tubuhnya sendiri menggigil. Yang memilih tidak keluar rumah karena suaminya tak mengizinkan, padahal dia bisa saja punya dunia di luar sana.

Bagiku, Ibu adalah representasi paling murni dari kata ikhlas. Satu kata yang sering kami ucapkan, tapi belum tentu benar kami jalani.

Dan kini, saat aku tahu bahwa aku bukan anak kandungnya, aku justru semakin mencintainya. Karena kasih sayangnya padaku bukan sekadar naluri seorang ibu, tapi pilihan penuh kesadaran untuk mencintai anak dari perempuan lain. Tak ada sedikit pun rasa beda. Bahkan beliau memasukkan namaku ke akta kelahirannya, memberikan hibah hartanya padaku, menyebutku dengan nama kesayangan yang sama seperti anak-anak kandungnya.

Aku mungkin bukan darahnya, tapi aku adalah warisan jiwanya.

Dan jika kelak di hari akhir aku diminta menjadi saksi atas seorang perempuan yang benar-benar mengejar surga, aku akan berdiri dan berkata:
“Ya Allah, aku bersaksi bahwa ibuku adalah istri sesholehah itu.”


Image by Pete Linforth from Pixabay