Posted in

Sepenggal Doa di Balik Setrikaan

Sepenggal Doa di Balik Setrikaan
Sepenggal Doa di Balik Setrikaan

Namaku Maya, anak pertama dari dua bersaudara. Waktu aku masih kecil, kira-kira usia TK, kedua orang tuaku bercerai. Setelah itu, aku ikut Ibu. Sejak hari itu, Ayah nyaris hilang dari hidupku, kecuali satu kali dalam setahun—lebaran. Di hari itu, ia datang membawakan baju baru. Cukup. Hanya itu.

Ibu bekerja keras sendirian. Menghidupi kami, menyekolahkan kami, dan menyembunyikan segala letih yang kadang kulihat dari sorot matanya. Kadang aku ikut membantu. Sejak SD aku sudah kenal setrikaan. Baju-baju tetangga mampir ke rumah bukan untuk dipakai, tapi untuk aku rapikan. Bau gosokan itu jadi bagian dari masa kecilku, bersama cucian, sapu, dan air mata yang selalu kusembunyikan dalam senyum.

Sementara itu, Ayah menikah lagi. Istri keduanya adalah janda dengan empat anak. Ayah menyekolahkan mereka di pesantren bagus. Aku? Masih menyetrika di rumah. Mencoba tidak iri. Mencoba kuat. Mencoba tidak bertanya kenapa.

Waktu berjalan. Aku tumbuh dewasa. Dapat pekerjaan yang layak. Menikah dengan laki-laki baik pilihan hatiku. Semua aku dan suamiku lakukan sendiri. Dari biaya nikah, bangun rumah, sampai beli kendaraan. Ayah hanya menyumbang empat juta rupiah. Tidak apa-apa, pikirku waktu itu. Aku sudah cukup terbiasa tidak berharap.

Tapi kisah Ayah tidak berhenti. Istri keduanya pergi. Tak lama, Ayah menikah lagi. Dan lagi-lagi, pernikahannya tidak bertahan lama. Aku tidak kaget. Ada sifat-sifat dalam diri Ayah yang… entahlah, aku sendiri sulit menggambarkannya. Tapi yang pasti, jauh dari sosok ayah yang seharusnya aku kenal sejak kecil.

Kemudian, waktu berjalan ke masa tua Ayah. Ia jatuh sakit. Dan tiba-tiba, ia kembali—bukan untuk memeluk, bukan untuk menyesal, tapi untuk menuntut.

“Kamu anak Bapak. Wajib urus Bapak sekarang.”

Aku hanya bisa menatapnya lama. Lidahku kelu. Hati ini seperti dicabik. Ingatanku berloncatan: saat aku sakit keras, saat Ibu meminjam uang ke mana-mana demi biaya pengobatanku, saat kami hanya makan nasi dengan garam. Ayah di mana?

Kini, aku menyuapi Ayah. Memandikannya. Mendengarnya mengeluh. Dan saat itu, aku sering menangis diam-diam. Bukan karena lelah, tapi karena luka masa kecil yang belum sembuh kini kembali disayat-sayat oleh suara orang yang sama.

Suamiku selalu bilang:

“Ambil berkahnya, Maya. Jangan simpan dendam. Allah lihat perjuangan kamu.”

Aku mencoba. Setiap sendok makanan yang aku suapkan, aku niatkan untuk menghapus rasa marah. Setiap malam yang kulalui dengan hati sesak, aku anggap sebagai ladang ampunan. Bukan untuk Ayah—tapi untukku. Agar hidup ini tak dibebani dendam yang tak akan pernah lunas.

Aku tak tahu apakah Ayah menyesal. Tapi aku tahu, aku ingin menjadi ibu yang kuat seperti ibuku, dan istri yang sabar seperti diriku hari ini.

Dan aku ingin anakku kelak tahu… bahwa menjadi anak bukan soal darah dan nama saja, tapi soal bagaimana kita memilih untuk tetap menjadi manusia dalam cobaan yang paling menyakitkan: saat luka datang dari orang yang seharusnya pertama kali melindungimu.


Photo by Soroush Karimi on Unsplash