Posted in

Surat dari Luang Prabang

Surat dari Luang Prabang
Surat dari Luang Prabang

Part 1: Penemuan

Namaku Arlena, usia 40 tahun. Seorang ibu dari dua anak, istri dari seorang pria yang dulu aku pikir adalah rumah, pelindung, dan teman seperjalanan menuju tua. Tapi hidup, nyatanya, tak selalu berjalan seperti dongeng yang dibacakan sebelum tidur.

Semuanya bermula dari ketidaksengajaan. Kami tengah melakukan business trip ke Jakarta. Malam itu di hotel, suamiku masuk kamar mandi, dan entah kenapa… sesuatu dalam diriku menuntun tangan ini membuka ponselnya. Aku bukan tipe istri yang kepo, bahkan selama 12 tahun pernikahan, aku selalu percaya. Tapi malam itu… seolah semesta ingin membuka tabir.

Ada satu kontak yang aneh: “Mbakke”. Chat-nya penuh kata “sayang”, “rindu”, dan obrolan yang… membuatku menggigil. Tubuhku lemas, tangan dingin. Tapi aku catat nomor itu. Aku taruh lagi ponselnya. Lalu sepanjang malam aku menahan tangis yang menggantung di tenggorokan. Paginya, aku bilang ingin pulang duluan ke Semarang, padahal tujuanku adalah Jogja. Ke pelukan sahabatku. Dan di bandara, untuk pertama kalinya aku menangis sampai tubuhku bergetar. Ke supir taksi, aku bilang ayahku meninggal. Padahal… yang mati adalah separuh jiwaku.


Part 2: Operasi Sunyi

Di Jogja, sahabatku memelukku tanpa banyak tanya. Tapi aku butuh lebih dari sekadar pelukan. Aku butuh kebenaran. Maka, dimulailah operasi diam-diam: mencari tahu siapa Mbakke.

Dari potongan chat, aku tahu dia teman UKM lama suamiku saat kuliah. Aku hubungi alumni, cross-check data, dan akhirnya menemukan wajahnya: seorang guru TK, beda usia hanya 6 bulan denganku. Tapi dia tahu suamiku sudah menikah. Dia tahu aku. Dia tahu anak-anakku. Dan dia tetap memilih menjadi bayangan dalam hidup kami selama lima tahun.

Aku menyewa dua orang untuk mengamati mereka: satu membuntuti suamiku, satu lagi si Mbakke. Laporan datang tiap malam. Hari ke-6, suamiku bilang mau kumpul bareng teman UKM. Laporan datang: dia ke sebuah resto di pinggiran kota. Aku datang diam-diam. Dan benar… mereka duduk berdua. Aku tak membuat keributan. Aku pergi. Tapi di hatiku, badai mengamuk.


Part 3: Surat Terakhir di Luang Prabang

Tanggal 9 Januari aku tahu perselingkuhan itu. Tapi aku diam. Aku simpan luka itu dalam dada. Aku rancang perjalanan anniversary kami seperti biasa. Tiket ke Chiang Mai dan lanjut backpackeran ke Luang Prabang sudah aku booking jauh-jauh hari.

Dalam perjalanan, dia seperti biasa. Makan, tertawa, belanja. Di Luang Prabang, dia bahkan membelikanku kalung perak etnis seharga $230 dan menyusun romantic dinner di resort cantik. Tapi malam itu… aku menyerahkan sepucuk surat.

Isinya:

“Kalau aku tidak bisa membahagiakanmu, mungkin kita memang tak ditakdirkan bersama. Aku ingin kamu bahagia. Tapi jika itu bukan denganku, lepaskan. Biarkan aku hidup untuk anak-anak, kamu cari cinta lain yang bisa melengkapi hidupmu. Aku tidak ingin menahanmu jika cintaku tidak cukup.”

Tangis kami pecah. Tapi tidak ada pelukan hangat di sana. Hanya kepingan cinta yang retak tak bisa disambung. Ia berusaha membalikkan keadaan. Ia bilang aku yang berubah. Ia mencoba gaslighting. Tapi aku tidak goyah. Aku bilang: “Kita pulang sendiri-sendiri. Aku tidak akan menjadi boneka rusak yang tetap kamu pamerkan ke dunia.”


Part 4: Rumah Tanpa Jiwa

Seminggu setelah itu, dia tidak pulang. Saat akhirnya pulang, ia seperti lelaki yang terbebas. Ia bilang sudah memutus semua dengan Mbakke. Ia bilang memilih aku. Tapi aku sudah terlalu rusak.

Depresi menelanku seperti sumur dalam tanpa dasar. Untuk bangun dari tempat tidur saja, aku tidak sanggup. Jika kantor tidak memberiku cuti 3 bulan dengan gaji 75%, entah apa yang terjadi dengan hidupku. Psikolog, psikiater, reiki, rukyah, meditasi, hipnotis — semua aku coba. Tapi rasa sakit itu seperti tumor jiwa. Tak bisa diangkat.

Aku izinkan dia tinggal. Dengan syarat:

  • No contact sama sekali dengan Mbakke dan teman UKM.
  • Resign dari tempat kerja.
  • Semua gaji dan rekening dikontrol aku.
  • Wajib minta maaf tiap hari, patuh padaku, dan lebih banyak di rumah bersama anak-anak.

Apakah rumah tangga kami membaik? Tidak. Bagi dia iya. Bagi anak-anak mungkin iya. Tapi aku? Tidak. Bahkan setelah 10 tahun berlalu, aku masih minum obat. Sekali setahun, aku masih minta pengacara memperbarui draf gugatanku. Just in case.


Part 5: Doa untuk Jiwa yang Retak

Proses healing itu bukan perjalanan. Ia lebih seperti siklus. Ada hari-hari aku kuat. Ada hari aku terbangun dan ingin menangis di bawah shower selama sejam.

Tapi aku bertahan. Demi anak-anakku. Demi diriku. Doa selalu kuselipkan dalam setiap tarikan napas:

“Ya Tuhan, beri aku kekuatan untuk tidak menyerah. Bantu aku menyembuhkan diriku, meski perlahan.”

Karena satu hal yang aku pelajari dari pengkhianatan adalah:

Kadang, cinta bisa dibangun kembali. Tapi kepercayaan… tak selalu bisa diperbaiki.


Photo by Heike Trautmann on Unsplash