Posted in

Jejak Luka di Balik Jubah

Jejak Luka di Balik Jubah
Jejak Luka di Balik Jubah

Bagian 1: Anak dari Dendam

Namanya Alma. Sejak kecil, hidupnya seperti menempuh badai tanpa jeda. Ia tinggal bersama ibunya, Salsabila, seorang perempuan tangguh namun terperangkap dalam luka yang tak kunjung sembuh. Bukan luka fisik, tapi luka batin yang mengakar—ditinggal begitu saja oleh lelaki yang pernah mengucap ijab dengan penuh ayat-ayat suci, hanya untuk kemudian menghilang tanpa jejak setelah membuat Salsabila mengandung.

Lelaki itu bernama Ghazwan, sosok berwajah lembut, bersorban, berucap manis tentang surga dan pahala, tapi menyimpan wajah lain di balik jubahnya—seorang narsistik dengan topeng agamis yang haus kuasa atas perempuan.

Setelah Alma lahir, Ghazwan lenyap begitu saja. Tak pernah kembali. Tak menengok. Tak bertanya. Tak mengirim nafkah. Ia hanya meninggalkan bayang-bayang kutukan di rumah kecil yang kini dihuni dua jiwa yang terluka.

Salsabila tak pernah benar-benar sembuh dari pengkhianatan itu. Luka yang membatu itu tumbuh menjadi amarah. Dan sialnya, amarah itu bukan ditujukan ke pelaku yang menghilang, tapi ke satu-satunya saksi nyata dari masa lalu: Alma, anaknya sendiri.

“Kamu itu sama aja kayak bapak kamu. Pembohong. Manipulatif!” bentak Salsabila, tak jarang, tanpa alasan yang jelas.

Tak ada pukulan, tak ada tamparan. Tapi kata-kata yang diucapkan tiap hari adalah racun yang menggerogoti pelan-pelan. Alma tumbuh seperti benih yang disiram api. Ia hidup, tapi tak pernah merasa hidup.


Bagian 2: Retak yang Ingin Pulih

Kami mengenal Alma saat usianya 23 tahun. Ia datang ke komunitas kami dengan mata sayu, suara gemetar, dan bahasa tubuh seperti burung yang patah sayap. Awalnya sulit. Alma tak percaya siapa pun. Bahkan pada dirinya sendiri.

“Kadang aku mikir… mungkin emang aku seburuk itu. Mungkin emang pantas dimaki-maki tiap hari…”

Butuh waktu lama untuk kami meyakinkannya bahwa dia bukan pantas disakiti. Bahwa luka ibunya bukan warisan yang harus ia pikul. Bahwa dirinya layak dicintai tanpa syarat, tanpa luka, tanpa beban.

Terapi, konseling, dukungan, dan waktu—itu semua perlahan-lahan memulihkan Alma. Dia mulai menulis lagi. Mulai tertawa, walau masih canggung. Dan yang paling penting, dia mulai berani berkata “tidak” pada emosi negatif yang dulu selalu ia telan mentah-mentah.

Salsabila pun, perlahan, ikut tersentuh. Lewat proses yang panjang, ia mulai menyadari bahwa dendam bukanlah warisan yang patut diturunkan. Mereka belajar untuk berdamai. Belajar untuk saling mendengar. Meskipun tidak sempurna, tapi setidaknya sekarang mereka hidup lebih damai—dengan segala kekurangannya.


Bagian 3: Hantu dari Masa Lalu

Hingga pada suatu hari yang tak diduga, nama itu muncul lagi. Ghazwan. Tiba-tiba. Setelah lebih dari dua dekade menghilang, ia mendadak menghubungi Alma. Bukan untuk minta maaf. Bukan untuk menebus dosa. Tapi… untuk minta tolong.

Katanya ia sedang dikejar. Jadi buronan. Terlibat kasus penipuan. Modusnya? Ceramah agama dan investasi surga. Janji-janji spiritual yang ternyata berujung tipu-tipu. Puluhan orang tertipu. Dan kini, ia datang mencarinya. Anak yang dulu ia tinggalkan. Untuk jadi tempat ia bersembunyi.

Kami tahu Alma terguncang. Tapi ia memilih tegas. Ia tidak membuka pintu untuk Ghazwan.

“Ayah yang baik tidak datang hanya saat butuh. Aku bukan tempat pelarian,” katanya lirih, tapi tegas.


Epilog: Yang Akan Menuai

Ghazwan mungkin masih berkeliaran hari ini. Masih berselimut dalil dan jargon kebaikan. Tapi jejaknya kini dicurigai. Topengnya mulai retak.

Dan kami percaya satu hal: orang seperti itu, cepat atau lambat, akan memanen apa yang ia tabur.

Sementara itu, Alma dan ibunya—dua jiwa yang pernah saling melukai—kini tumbuh bersama, dengan segala ketidaksempurnaan, menuju versi hidup yang lebih sehat.

Karena terkadang, keluarga bukan soal darah. Tapi tentang siapa yang berani sembuh bersama.


Photo by Viktor Nikolaienko on Unsplash