Posted in

Bayang-Bayang Sandal Jepit

Bayang-Bayang Sandal Jepit
Bayang-Bayang Sandal Jepit

Bagian 1: Pernikahan yang Tidak Dirayakan

Di sebuah kota kecil, tinggal seorang pemuda bernama Bagas, 27 tahun, tulus dan penyayang. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Ibunya, Bu Mariyam, adalah seorang janda yang dikenal keras tapi penuh kasih—kalau sudah soal anak, dia bisa mengorbankan segalanya… kecuali prinsip.

Ketika Bagas membawa kabar bahwa ia akan menikah dengan seorang janda beranak tiga, Rahayu, yang usianya sembilan tahun lebih tua, dunia Bu Mariyam seperti runtuh. Ia menolak mentah-mentah. Tak ada restu. Tak ada tangis bahagia di hari pernikahan. Hanya keheningan yang panjang.

Namun, satu hal yang masih Bu Mariyam berikan adalah sebuah rumah kecil warisan keluarga. “Kau boleh tinggal di sana, tapi jangan harap Ibu datang ke acara itu,” katanya.

Aku, Rino, sepupunya, awalnya marah pada Tante Mariyam. Kok bisa-bisanya seorang ibu tidak hadir di pernikahan anaknya hanya karena perbedaan usia dan status calon istri? Aku membela Bagas habis-habisan. Aku tahu dia anak baik. Setia. Kalau cinta sudah bicara, siapa kita yang bisa menghalang?

Tapi waktu berjalan. Dan pelan-pelan aku mulai melihat sisi lain dari cerita ini.


Bagian 2: Realita Setelah Ijab Kabul

Tiga anak sambung kini menjadi tanggungan Bagas sepenuhnya. Gajinya sebagai staf gudang di perusahaan logistik hanya 5,5 juta rupiah. Niko, anak tertua, akan masuk SMA tahun ini. Kirana, anak kedua, naik kelas 2 SMP. Dan Danu, si bungsu, baru duduk di kelas 2 SD.

Awalnya mereka semua sekolah di negeri. Tapi tak lama setelah menikah, Rahayu memutuskan memindahkan ketiganya ke sekolah swasta.

“Supaya masa depan mereka lebih baik,” katanya.

Bagas diam. Tak bisa banyak protes. Ia ingin menjadi suami dan ayah yang bisa diandalkan. Tapi dalam diam itu, mulai tumbuh kegelisahan. Gaji pas-pasan mulai tidak cukup. Listrik kadang telat dibayar. Bensin motor dikurangi. Hingga akhirnya, sertifikat rumah digadaikan.

Dua tahun cicilan. Baru tiga bulan lancar. Bulan keempat dan kelima… Bagas mulai kesulitan. Dan akhirnya ia menghubungiku.

“Rino… bisa bantu? Aku telat cicilan dua bulan. Hampir tujuh juta…”

Aku menghela napas. Tidak mudah. Tapi aku tahu dia bukan pemalas. Dia sedang terseok di medan yang terlalu berat untuk pundaknya yang muda. Maka aku bantu.


Bagian 3: Chat dan Pagi yang Membakar

Setelah membantu, aku merasa harus bicara jujur. Aku tak ingin melihat Bagas tambah terpuruk. Maka kutulis pesan:
“Selama kau masih ngos-ngosan membiayai anak-anak sambungmu, sampai beli sandal jepit saja tak mampu, menurutku sebaiknya belum usah punya anak kandung dulu. Fokus bertahan hidup dulu, Gas.”

Aku pikir itu obrolan pribadi. Tapi pagi harinya, HP-ku berdering. Nama yang muncul: Rahayu.

Bukan panggilan, tapi pesan panjang, panas, penuh amarah. Ia merasa disindir, merasa aku mencampuri urusan mereka. Aku hanya bisa menarik napas. Ternyata, membicarakan kenyataan sering kali dianggap menyakiti.


Bagian 4: Di Antara Dua Ibu

Aku duduk termenung. Memandang layar ponsel yang masih menampilkan percakapan barusan.

Di satu sisi, aku ingin menjaga hubungan dengan sepupuku, juga menjaga hatinya yang sedang berjuang keras. Tapi di sisi lain, aku tak ingin membiarkan dia makin tenggelam.

Dan entah kenapa, aku tiba-tiba paham kenapa dulu Bu Mariyam bersikap setegas itu.

Bukan karena benci. Tapi karena tahu betapa berat beban hidup yang menanti anak laki-lakinya. Betapa banyak pilihan yang terasa indah di awal, ternyata menyimpan jurang yang dalam di ujungnya.

Aku hanya ingin Bagas sadar, bahwa menjadi lelaki bukan hanya soal mencintai dan menerima, tapi juga tahu kapan harus realistis—karena hidup, tidak cukup dengan niat baik dan pengorbanan semata.


Photo by Caio Silva on Unsplash