Posted in

Titik Koordinat Tahi Lalat

Titik Koordinat Tahi Lalat
Titik Koordinat Tahi Lalat

Waktu itu aku masih kuliah semester lima. Namaku Aira, dan di antara tumpukan tugas, dosen killer, dan jadwal kuliah yang acak-acakan, ada satu hal yang cukup menghibur hari-hariku: sahabatku, Hana.

Hana itu tipe cewek yang ekspresif, gampang heboh, dan gampang banget suka sama orang. Tapi entah kenapa, waktu dia cerita tentang cowok dari FISIP yang sering dia lihat di koridor lantai lima, nadanya beda. Ada semacam getaran kecil yang nggak biasa.

“Aira, liat deh! Itu yang baju hitam, yang ada tahi lalat deket hidungnya! Ganteng kan?!” bisik Hana sambil menepuk lenganku.

Karena kami sama-sama kuliah di lantai lima, nyaris setiap sore kami nongkrong di koridor cuma buat liat cowok itu lewat. Dan karena kami nggak tau namanya, Hana mulai nyebut dia dengan nama panggilan absurd: “Si Tombol”.

“Kenapa harus ‘Tombol’ sih?” tanyaku waktu itu.

“Karena tahi lalatnya kayak tombol power. Sekali liat, nyala semua rasa.” jawab Hana sambil senyum-senyum geli.

Aku cuma geleng-geleng.


Suatu sore, HP-ku bunyi. Hana nelpon dengan suara penuh semangat.

“Airaaaa! Aku dapet nomor HP-nya Si Tombol!!!”

“Hah?! Serius?! Dari mana?!”

“Dari Dewi! Tadi aku nganterin dia ke ruang Kajur HI, terus si Tombol sama temennya juga ada di sana. Aku langsung tanya ke Dewi, dia bilang kenal, terus ngasih nomornya!”

Aku bisa ngebayangin wajah Hana yang mungkin udah kayak abis dapet pengumuman SNMPTN.

“Terus kamu udah chat?” tanyaku.

“Udah dong! Tadi dia bales, terus nelpon juga! Dan—dan—dia bilang namanya Dimas!”


Hari yang ditunggu pun tiba. Hana dan “Dimas” sepakat ketemuan di koridor lantai lima setelah kuliah. Aku tentu ikut, karena Hana udah setengah mati gugupnya dan butuh dukungan moral (dan fisik, kalau-kalau dia pingsan karena baper berlebihan).

Kami berdiri di ujung koridor. Jantung Hana mungkin udah kayak drum band. Dari arah ruang 501, dua cowok keluar: Si Tombol dan temannya.

Deg-degan. Tegang. Aku juga ikut kebawa suasana.

Tapi… yang mendekat ke arah kami bukan Si Tombol.

“Hai, Hana kan? Aku Dimas,” kata cowok itu, sambil mengulurkan tangan. Si Tombol cuma berdiri di belakangnya, senyum ramah tapi jelas bukan “Dimas”.

Hana diam. Matanya melirik Si Tombol, lalu kembali ke cowok yang ngaku Dimas. Ekspresi wajahnya seperti abis disuruh ngerjain soal kalkulus pakai bahasa Rusia.

“Ka—kamu Dimas?”

“Iya,” jawab cowok itu, bingung. “Kamu Hana, kan?”


Setelah momen itu, kami duduk di tangga darurat lantai lima. Hana masih lemes kayak habis lari estafet tiga babak.

“Jadi… Si Tombol itu BUKAN Dimas?” tanyaku pelan.

“Bukan. Nama aslinya Bagus. Tadi aku denger mereka ngobrol.”

Aku tahan tawa sekuat tenaga. Tapi ekspresi Hana makin kocak waktu dia mulai cerita asal-usul kesalahan fatal ini.

“Tadi aku tanya ke Dewi, ‘Wi, kamu kenal cowok yang ada tahi lalat deket hidung nggak?’ Dia jawab, ‘Iya, itu Dimas.’ Ya udah, kukira itu bener!”

Aku langsung nyaut, “Tapi Dimas juga punya tahi lalat ya?”

“Nah itu dia! Tahi lalatnya Dimas tuh ada di atas bibir, mepet ke hidung juga. Jadi mirip lah kalau diliat dari sudut yang salah.”

Aku ketawa ngakak. “Berarti Dewi bukan salah kasih info, cuma… salah identifikasi koordinat tahi lalat.”

Hana manyun. “Tetep aja aku malu. Aku udah loncat-loncat di rumah tadi. Aku kira akhirnya jadian sama si Tombol…”

“Eh, jadi kamu mau terusin kenalan sama Dimas?”

“Ogah. Hatiku udah keburu nyangkut di tombol yang salah.”


Dan sejak hari itu, kami berdua sepakat: jangan pernah menilai cowok hanya dari letak tahi lalatnya.

Apalagi kalau cuma lihat dari kejauhan.


Photo by Evie S. on Unsplash