Posted in

Aku, Kelvin, dan Jalan Menuju Keberanian

Aku, Kelvin, dan Jalan Menuju Keberanian
Aku, Kelvin, dan Jalan Menuju Keberanian

Namaku Lala—sebut saja begitu. Perempuan mendekati kepala tiga, masih betah sendiri sampai beberapa bulan lalu. Aku tidak pernah merasa terburu-buru untuk menikah, bukan karena tidak ingin, tapi karena aku lebih dulu ingin merasa utuh. Perjalanan hidupku sempat membuatku patah hati cukup dalam, sembilan tahun hubungan kandas dan butuh waktu lama untuk sembuh. Dan ketika aku merasa siap, datanglah Kelvin.

Kelvin adalah teman lama. Kami pernah kuliah bersama, lalu lost contact seperti kebanyakan orang pada umumnya. Hidup mempertemukan kami kembali dengan cara yang tak terduga—sosial media. Di tengah rutinitas kerja-pulang-kerja-pulang yang membosankan, aku menemukan kembali tawa lama di kolom pesan.

Aku bukan lagi Lala yang dulu. Aku kini menyukai kedamaian, tidak suka drama. Dulu mungkin aku lebih meledak-ledak, penuh semangat dan idealisme kampus. Tapi sekarang? Aku hanya ingin hidup tenang. Maka tak heran selama dua bulan menjalin hubungan dengan Kelvin, aku tak pernah protes, tak pernah posesif. Aku tahu bagaimana rasanya jadi perempuan yang terlalu keras menjaga, dan kali ini aku ingin belajar percaya.

Kelvin memperlakukanku dengan sangat baik. Kalimat-kalimatnya tenang, sikapnya hati-hati. Suatu hari dia mengajakku mampir ke apartemennya sebentar, katanya ingin mengambil barang. Apart itu bukan milik pribadi, tapi fasilitas dari kantornya, tempat dia tinggal bersama ayahnya. Ibunya dan kakaknya masih tinggal di kota asal kami, kota Y.

Ada satu hal yang membuatku ragu—apartemennya terkenal dengan rumor tak sedap. Katanya sering dijadikan tempat menyimpan wanita simpanan. Awalnya aku anggap itu hanya gosip murahan… sampai aku melihat beberapa tanda yang membuatku mulai percaya. Tapi sebelum pikiranku makin jauh, Kelvin mengajakku makan di restoran sebelah.

Dengan gugup dia berkata, “La, aku serius sama kamu. Aku mau menikahimu.”

Aku terdiam. Bukan karena tak bahagia, tapi karena takut. “Kamu gak lagi sakit kan?” tanyaku setengah bercanda.

Dia tertawa kecil. “Enggak sayang. Yuk, kita rencanain buat ketemu orang tua masing-masing.”

Dan di sanalah babak baru dimulai.

Orangtuaku tinggal di kota Y, kota yang sama dengan keluarga Kelvin. Walaupun aku merantau di kota X, komunikasi kami tetap dekat. Ketika aku bilang ingin membawa Kelvin ke rumah, mama langsung antusias. Pertanyaan-pertanyaan bertubi-tubi menghampiriku—apa kesukaannya, orangtuanya gimana, kapan datang?

Aku tahu, ini bukan sekadar basa-basi. Di balik tanya mereka, aku bisa merasakan harapan yang dalam—anak perempuan pertama mereka ini akhirnya ingin menikah.

Kelvin bukan tipikal cowok ekstrovert. Dia mudah berkeringat saat gugup, susah berinteraksi dengan orang baru. Bahkan saat ke rumahku, dia mengelap keringatnya berkali-kali. Tapi dia tetap datang, tetap menghadap, tetap memperkenalkan diri. Itu membuatku yakin, dia memang bersungguh-sungguh.

Dia pernah cerita kalau sudah ke psikolog, katanya ada kaitan dengan kecemasan sosial. Dulu dia juga tidak percaya diri dengan penampilannya. Katanya, dia hanya ingin menutupi keringatnya, makanya selalu pakai lengan panjang, bahkan di cuaca panas. Tapi aku tidak peduli soal itu. Aku melihat hatinya.

Kalau kamu ingin tahu tentangku, yah… aku hanyalah Lala. Seorang perempuan yang dulunya terlalu nyaman hidup sendiri, terlalu takut jatuh cinta lagi. Tapi juga perempuan yang percaya, bahwa cinta sejati itu bukan tentang sempurna, tapi tentang saling menerima dan berani mencoba lagi.

Aku mencintai Kelvin, dengan segala keanehannya. Mungkin karena dia mengajarkanku satu hal: bahwa keberanian itu bukan tentang tak pernah takut, tapi tetap melangkah meski takut.

Dan aku memilih untuk melangkah bersamanya.


Image by Michaela 💗 from Pixabay