Posted in

Aku Pernah Menolak Lelaki Baik

Aku Pernah Menolak Lelaki Baik
Aku Pernah Menolak Lelaki Baik

Waktu itu aku sedang menjalani masa koass — masa paling melelahkan dalam hidupku. Hidup rasanya seperti hanya berputar antara rumah sakit, laporan, dan kantuk yang tak pernah lunas. Di tengah kesibukan itu, sebuah telepon masuk. Suaranya lembut dan sopan, tapi cukup membuatku terdiam.

“Mbak, masih tinggal di Ceres?”

Sudah lama kami tidak berbicara. Dia salah satu teman baik — bukan teman dekat, tapi teman yang tahu batas. Kami satu angkatan, beda fakultas. Obrolan kami selama ini biasa saja. Sopan. Aman.

Tapi malam itu dia datang, rapi sekali. Bukan untuk main-main.

Tanpa basa-basi, dia menatapku dan berkata,
“Mbak Reni… mbak Reni siap menikah tidak? Saya ingin melamar mbak ke keluarga di Lampung.”

Aku tertegun. Jantungku seperti berhenti sepersekian detik. Aku tidak pernah menyangka — selama ini hubungan kami datar, tak pernah ada tanda-tanda perasaan khusus. Tapi caranya bicara, begitu tenang dan tulus.

Aku bilang, beri aku waktu seminggu. Aku ingin istikharah.

Lelaki ini sangat baik, versiku. Tidak neko-neko, tidak merokok, tidak sok religius tapi sangat menghormati orang lain. Suka membantu siapa saja. Teman yang menyenangkan dan sahabat yang tulus. Bukan tipe ikhwan yang kaku, tapi jelas punya prinsip.

Tapi belum genap seminggu, aku menelponnya. Suaraku pelan, penuh ragu, tapi tegas.
“Maaf… aku tidak bisa.”

Bukan karena aku tidak suka. Bukan juga karena belum siap.

Alasanku sederhana dan menyakitkan: kami tidak sekufu. Bukan karena dia tak cukup baik, justru sebaliknya — karena aku merasa terlalu banyak kekurangan. Saat itu, keluargaku sedang berat. Ayah sudah tidak bisa bekerja penuh. Dan aku, walaupun masih kuliah, sudah menjadi tulang punggung keluarga, baik secara mental maupun finansial.

“Alangkah tidak beruntungnya kamu kalau menikah denganku,” ucapku.

Apakah dia marah? Tidak. Dia hanya minta didoakan, agar kami sama-sama dipertemukan dengan orang baik. Setelah itu, komunikasi kami tetap berjalan. Bahkan jadi lebih santai, lebih ringan — seperti dua sahabat yang tak lagi menyimpan rasa yang menggantung.

Beberapa bulan kemudian, dia mengabari akan menikah. Dengan perempuan dari pulau yang sama denganku.

“Aku bahagia,” jawabku ketika dia mengabarkan kabar itu.

Waktu kutanya orangnya seperti apa, dia tersenyum, “Pintar kayak Mbak Reni!” katanya bercanda. Aku tertawa, walau di dalam hati ada rasa yang tak bisa dijelaskan — sedih, tapi hangat.

Aku tak sempat datang ke walimahannya. Tapi beberapa minggu setelah itu, kami bertemu bertiga. Ya, dengan istrinya. Kami makan bakso bersama. Dan… Subhanallah, istrinya luar biasa baik.

Yang lebih mengejutkan, sekarang justru aku bersahabat erat dengan istrinya. Kadang mereka berdua video call sambil menyemangati,
“Mbaaaak… ayo kita doain ya ketemu jodohnya…”

Kini mereka tinggal di luar negeri. Waktu ada kebakaran di California, mereka langsung menelpon, panik. Mereka pikir aku kena dampaknya. Padahal aku baik-baik saja.

Dan hari ini, aku bisa bilang:
Istrinya adalah sahabatku.
Dan dia… tetap lelaki baik itu.

Bukan milikku, tapi tetap bagian dari hidupku — sebagai cerita yang indah, yang tidak harus berujung di pelaminan, tapi tetap meninggalkan jejak dalam hidup.


Photo by Austin Pacheco on Unsplash