Posted in

Badai yang Tak Diam: Bangkitnya Perempuan Pendiam

Badai yang Tak Diam: Bangkitnya Perempuan Pendiam
Badai yang Tak Diam: Bangkitnya Perempuan Pendiam

Tak ada yang menyangka. Di balik wajahnya yang pendiam, lembut, dan selalu tersenyum di tengah keluarga besar, tersimpan lautan luka yang tak kunjung kering.

Namanya Rini. Sudah lebih dari 20 tahun ia menjalani pernikahan yang di atas kertas tampak utuh: dua anak, satu cucu, dan rumah kecil yang selalu bersih. Tapi di balik dinding rumah itu, ia hidup dalam neraka diam-diam. Suaminya, yang dulu ia percayai, berubah menjadi monster: pemarah, kejam, dan bahkan tega berselingkuh berkali-kali. Tak cukup sampai di situ, kebun sawit warisan orang tuanya pun dikuasai oleh si suami. Rini, yang hanya diberi uang bulanan Rp500 ribu, tetap bertahan. Ia sabar—terlalu sabar.

Setahun lalu, segalanya mulai berubah.

Rini berasal dari keluarga besar. Sembilan bersaudara, dan para lelaki di keluarga itu sangat melindungi. Saat berkumpul, Rini dengan lirih bercerita bahwa ia kerap mendapatkan kekerasan. Cerita yang semula hanya desas-desus, menjadi kenyataan. Salah satu tetangga bahkan pernah melihat suaminya di klinik, mengobati penyakit sifilis.

Lalu, keponakannya bermimpi aneh: Rini sedang mengadakan hajatan besar, tapi tiba-tiba badai datang dan menghancurkan semuanya. Mimpi itu disampaikan ke kakak laki-laki Rini. Tak lama setelah itu, kekerasan kembali terjadi. Kali ini lebih parah. Rini tak tahan lagi. Ia melapor ke saudara-saudaranya. Keluarga besar pun turun tangan.

Disidanglah si suami di rumah mereka sendiri. Awalnya ia menyangkal semua tuduhan. Tapi Rini akhirnya pecah. Ia bicara lantang—hal yang jarang ia lakukan seumur hidupnya.

“Aku ditonjok, diseret, dibanting, dicekik… dia bilang kalau aku macam-macam, aku dan anak-anak bakal dibunuh.”

Keluarga geger. Rini langsung dibawa kabur oleh tetangga, lalu diantar ke rumah anak sulungnya yang sudah menikah.

Namun, saat si suami ditanya, dia malah berdalih, “Dia permalukan aku di media sosial.”

Padahal, Rini hanya menasihati agar suaminya tobat.

Dengan nada tinggi si suami bilang, “Maumu apa? Selesaikan sekarang juga!”

Tapi Rini, dengan nada pelan menjawab, “Kalau bisa diperbaiki… ya diperbaiki saja.”

Keluarga kecewa. Tapi mereka menghormati pilihan Rini.

Beberapa bulan berlalu. Rini mendapat arisan, ia belikan gelang emas. Tak lama kemudian suami meminjamnya, katanya untuk tambahan modal usaha. Ternyata ia meminjam uang 1 miliar dari bank. Rini hanya diberi Rp10 juta, katanya sebagai pengganti gelang. Tapi uang itu digunakan untuk wanita lain—selingkuhannya.

Puncaknya, Rini dan anak sulungnya menangkap basah si suami sedang membonceng wanita lain, lengkap dengan anak hasil perselingkuhan mereka. Saat dilabrak, si suami malah hampir menyakiti anak sulung mereka. Rini mundur. Tak lama kemudian, anak bungsunya yang lelaki dan menantunya juga menangkap basah kejadian serupa. Kini, anak laki-lakinya yang dulu tak ingin orang tuanya berpisah, justru yang memaksa ibunya untuk cerai.

Tapi sebelum perceraian itu selesai, si suami malah menikah lagi—secara sah di KUA lain, masih dalam satu kabupaten. Ia berdusta dengan mengatakan sudah bercerai.

Kali ini, Rini tak diam.

Ia melaporkan si suami, para saksi nikah, dan bahkan penghulu yang menikahkan mereka. Sang penghulu geram, dan turut menggugat karena telah dibohongi.

Kini, si suami berada di ambang kehancuran: digugat secara hukum, diburu utang 1 miliar yang baru membayar bunga saja, dan ditinggalkan anak-anaknya sendiri. Wanita yang dulu ia anggap lemah, diam, dan penurut—kini berdiri sebagai kekuatan yang meruntuhkan topeng kebohongannya.

Karena pada akhirnya, kesabaran pun ada batasnya.

Dan ketika wanita yang sabar mulai melawan, dunia bisa bergetar.


Photo by Markus Spiske on Unsplash