Posted in

Cahaya yang Padam Tepat Jam Delapan

Cahaya yang Padam Tepat Jam Delapan
Cahaya yang Padam Tepat Jam Delapan

Siang itu, udara terasa lebih panas dari biasanya. Awan bergelantung rendah, seolah menunggu waktu tepat untuk menumpahkan gerimis. Dari dalam rumah kayu semi-permanen yang saya tinggali sejak kecil, suara keributan terdengar menembus dinding papan dan kaca nako.

“Apalah itu… ribut-ribut lagi?” gumam saya, setengah malas bangkit dari kursi rotan. Suaranya tidak asing—teriakan lantang Bu Rantika, tetangga tiga rumah dari rumah saya, yang dikenal suka ‘mengawasi lingkungan’.

Saya keluar, berdiri di depan teras. Beberapa tetangga lain juga mulai keluar, bersandar di pagar atau mengintip dari jendela. Di kampung kami, kejadian semacam ini semacam hiburan sore yang tidak diundang.

Saya menoleh ke arah sumber keributan. Bu Rantika berdiri di depan rumah Bu Lestari, tangan bertolak pinggang, suaranya naik dua oktaf.

“Kalau rumahmu gelap jam delapan, kami jadi takut! Orang bisa sangka ada apa-apa! Mana enak dilihat!” serunya.

Bu Lestari tidak tinggal diam. Ia berdiri di balik pagar, menahan emosi, tapi nadanya mulai naik juga. “Lah, memang kenapa kalau saya matikan lampu ruang tamu? Listrik bayar sendiri, Bu!”

Saya semakin bingung. Dari balik bahu seorang tetangga, saya bertanya, “Memangnya kenapa, sih, Bu Lestari matiin lampu jam delapan?”

“Katanya sih,” jawab tetangga saya, “Bu Rantika itu merasa risih. Kalau rumah gelap jam segitu, katanya bikin suasana kampung jadi horor, terus jadi bahan omongan. Entah gimana lah logikanya.”

Saya tercenung. Ini serius? Hanya karena lampu ruang tamu yang dimatikan, bisa jadi bahan ribut?

Kampung kami memang bukan perumahan elite. Jalanannya masih tanah bercampur kerikil, rumah-rumah berdiri tanpa pagar tinggi, dan kabar bisa menyebar lebih cepat dari sepeda motor. Tapi tetap saja, yang satu ini terasa… absurd.

Saya kembali ke dalam rumah dengan pikiran campur aduk. Bukankah apa yang dilakukan seseorang di rumahnya—selama tidak merugikan atau mengganggu orang lain—adalah haknya sendiri?

Tapi begitulah hidup bertetangga di kampung. Batas antara kepedulian dan ikut campur sering kali kabur. Hal remeh bisa berubah jadi bara, apalagi kalau sudah dibumbui ego dan kebiasaan lama.

Malam harinya, saya perhatikan jam. Pukul delapan lewat sedikit. Saya melirik ke arah rumah Bu Lestari. Lampunya tetap padam, seperti biasa.

Tapi malam ini terasa lebih gelap—bukan karena cahaya yang hilang, tapi karena nalar yang semestinya menyinari, malah memilih padam.


Photo by carolyn christine on Unsplash