Posted in

Cinta di Ujung Senja

Cinta di Ujung Senja
Cinta di Ujung Senja

Di sebuah kampung kecil bernama Kertamukti, tinggal seorang pria paruh baya yang dikenal ramah dan dermawan. Namanya Pak Samudra, atau biasa dipanggil Pak S. Setelah pensiun dari pekerjaannya di kota, Pak S memutuskan kembali ke kampung halamannya. Dengan tabungan pensiunnya, ia membangun sebuah kafe sederhana yang bernuansa klasik, tempat orang-orang bisa menikmati kopi sambil bercengkerama di sore hari.

Awalnya semua berjalan biasa saja, hingga suatu hari datang seorang gadis muda bernama Rina. Cantik, enerjik, dan penuh pesona. Ia sering datang sendiri ke kafe Pak S. Lama-lama, warga mulai curiga—bukan hanya kopi yang menarik gadis itu datang, tapi sang pemilik kafe itu sendiri.

Desas-desus pun menyebar. Tak lama kemudian, kejutan besar datang—Pak S menikahi Rina. Tidak sedikit yang tercengang, terutama karena tidak ada kabar pasti apakah Bu Sari, istri pertama Pak S, telah diceraikan atau belum. Yang jelas, rumah lama mereka di Kertamukti masih ada, meskipun kini hanya dikontrakkan setengah jadi. Sesekali, Bu Sari terlihat datang bersama anak dan cucunya, sendirian. Tanpa Pak S.

Warga memilih diam. Tidak banyak bertanya. Masing-masing punya urusan sendiri. Tapi cerita belum usai.

Beberapa tahun setelah pernikahan itu, duka mendalam menimpa Bu Sari. Ia kehilangan cucu pertamanya. Dan tak lama berselang, anak sulungnya juga meninggal dunia. Kesedihan itu tak pernah benar-benar tampak di permukaan, karena semua terjadi di luar kampung, di kota asal Bu Sari.

Suatu hari, dengan hati yang remuk namun teguh, Bu Sari memutuskan kembali ke kota itu. Ia datang ke rumah Pak S dan Rina. Bukan untuk menuntut atau menyalahkan, tapi hanya untuk berpamitan. Tak disangka, Pak S justru memilih pulang bersama Bu Sari.

Rina tak berkata apa pun. Saat Pak S mengemas barang-barangnya dan berpamitan, Rina hanya masuk ke kamar dan menutup pintu. Tanpa kata. Tanpa air mata. Hampa.

Kembali ke Kertamukti, Pak S dan Bu Sari hidup seolah tak pernah terjadi luka. Mereka jalan pagi bersama, menanam sayur di pekarangan, dan berbelanja ke pasar sambil saling menggoda seperti muda-mudi. Tak ada jejak dendam. Hanya raut wajah damai yang menyimpan banyak cerita.

Dua atau tiga tahun kemudian, mereka pindah ke kota asal Pak S, mungkin untuk lebih dekat dengan anak-anak yang tersisa. Tak lama setelah itu, kabar duka datang: Pak S meninggal dunia.

Kini, setiap kali tetangga menelepon Bu Sari, suaranya selalu basah oleh tangis. Padahal sudah dua tahun kepergian Pak S. Tapi cinta yang bertahan, walau diuji begitu dalam, tak pernah benar-benar hilang.

Dan dari cerita itu, aku belajar satu hal penting: Cinta bukan soal nafsu atau usia, tapi tentang kesetiaan, memaafkan, dan keberanian untuk kembali. Karena di hari tua nanti, yang benar-benar menemani adalah karakter, bukan sekadar gairah.

Untuk yang masih punya satu istri—jagalah dia baik-baik. Jangan gadaikan proses panjang yang kalian lalui bersama demi kenikmatan sesaat. Karena yang datang belakangan belum tentu tulus, dan yang menemanimu jatuh-bangun tak mudah digantikan.


Photo by Reaksmey Thou on Unsplash