Posted in

Cinta yang Tak Kunjung Sah

Cinta yang Tak Kunjung Sah
Cinta yang Tak Kunjung Sah

Dulu, mereka cuma dua orang muda yang sedang jatuh cinta—teman satu sekolah, sama-sama baru mulai bekerja, dan sama-sama terikat kontrak kerja yang melarang pernikahan selama tahun pertama. Mereka berpikir sederhana, “Nikah siri aja dulu, biar halal.” Tidak ada pesta, tidak ada legalitas. Tapi ada niat baik, katanya.

Temanku… sebut saja namanya Rani. Ia mengiyakan lamaran itu dengan harapan bisa menjalani hubungan yang bersih, suci di mata Tuhan. Mereka ingin tetap bersama tanpa harus takut dosa. Awalnya memang terasa seperti jalan keluar terbaik. Nikah siri, tinggal bareng, dan lanjut bekerja seperti biasa. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang dicurigai.

Dua tahun setelah itu, Rani melepaskan KB. Bukan karena ia benar-benar siap punya anak, tapi karena suaminya terus-menerus merengek ingin segera punya keturunan. Ia menyerah. Ia pasrah. Ia pikir, “Mungkin dengan punya anak, semuanya akan lebih baik.” Tapi ternyata justru sejak saat itu, semua mulai terasa berat.

Anak mereka kini sudah tiga tahun. Lucu, cerdas, dan sebentar lagi masuk TK. Namun, status Rani tak berubah—tetap istri siri. Setiap kali ia membahas pernikahan resmi ke KUA, sang suami selalu punya alasan konyol yang bikin Rani makin bingung. Suatu hari mereka sudah setengah jalan menuju KUA, tiba-tiba sang suami bilang, “Aduh, aku belum ngasih makan burung.”

Rani tertawa getir saat cerita itu. “Burung,” katanya dengan nada datar. “Dia lebih khawatir soal burung peliharaan ketimbang masa depan istri dan anaknya.”

Dan begitu seterusnya. Kalau ekonomi mereka sedang bagus, suaminya bilang sibuk kerja. Kalau sedang sepi pekerjaan, dia bilang tidak ada uang untuk nikah resmi. Rani mulai merasa terjebak dalam lingkaran alasan yang sama, diputar ulang dengan kata-kata berbeda.

Dia mulai curiga. “Apa dia gak serius ya? Apa dia sebenernya mikir mau nikah sama orang lain?” Lama-lama pertanyaan itu terus berputar di kepala, bikin Rani overthinking dan terpuruk. Sampai akhirnya dia mulai merasa depresi. Setiap kali ada pertengkaran, dan ia ingin pulang ke rumah orang tuanya, suaminya mengancam, “Kalau kamu pergi, jangan harap ketemu anak kamu lagi.”

Ancaman itu, dulu sangat menakutkan. Tapi kini, sudah mulai kehilangan kekuatan. “Kalau anaknya memang mau dia ambil, ya silakan,” kata Rani suatu malam, ketika aku bertanya tentang rencananya. “Aku gak sanggup terus-terusan begini.”

Ia bilang sekarang sudah rutin ke psikiater. Kata dokter, kondisi mentalnya sudah mengkhawatirkan. Tapi tetap saja, sang suami seolah tak peduli. Selalu mengelak, selalu menghindar. Selalu merasa semua baik-baik saja.

Keluarga Rani sudah mulai menuntut kejelasan. Begitu juga keluarga suaminya, yang ternyata sangat mendukung agar mereka segera menikah resmi. Tapi ya itu, suaminya selalu berdalih. Bahkan ketika Rani bertanya, “Kamu cinta gak sih sama aku?” suaminya menjawab, “Cinta.” Tapi semua kata itu kosong. Tak ada pembuktian.

Sekarang, Rani ada di ambang keputusasaan. Ia sudah lelah. Teramat lelah. Ia bilang, jika sampai akhir tahun ini tak ada perubahan, ia akan pergi. Keluar negeri, mencari hidup yang baru. Ia ingin bebas. Ingin sembuh. Anak mereka? Biarlah diasuh oleh sang ayah, seperti yang diinginkan.

Aku melihat matanya ketika ia mengatakan itu. Ada luka. Ada amarah. Tapi juga ada keteguhan. Ia tidak sedang main-main. Rani sudah sampai di titik di mana harapan terakhirnya hampir padam.

Dan aku hanya bisa mendengarkan, mendoakan, dan berharap—jika bukan keadilan, setidaknya Rani bisa menemukan kedamaian.


Image by PIRO from Pixabay