Posted in

Cinta yang Tumbuh dari Proses

Cinta yang Tumbuh dari Proses
Cinta yang Tumbuh dari Proses

Obrolan itu dimulai dari topik yang entah dari mana. Aku dan seorang teman sedang duduk santai di warung kopi, membicarakan hal-hal ngalor ngidul. Sampai akhirnya, dia bilang, “Nggak semua cowok itu brengsek, lho. Masih banyak yang baik.” Lalu dia mulai cerita tentang seseorang yang dulu sempat dia kenal — seorang perempuan bernama Dina.

Dina bukan tipikal tokoh utama dalam cerita cinta kebanyakan. Di usianya yang lewat 30, dia sudah lama pasrah kalau jodoh mungkin bukan bagian dari takdirnya. Ia hidup mandiri, bekerja, sesekali traveling, dan menjalani hari dengan damai. Satu hal yang membuatnya merasa berbeda dari perempuan lain: tubuhnya dulu obesitas, di atas 100 kilogram. Sampai akhirnya, suatu hari, hasil tes kesehatannya menunjukkan bahwa ia pra-diabetes.

Itulah titik baliknya. Dengan pelan tapi pasti, Dina mulai mengubah gaya hidupnya. Diet, olahraga, menjaga makan — semua dijalani dengan konsisten. Tahun-tahun berlalu, dan berat badannya turun drastis. Dari angka tiga digit menjadi sekitar 60-70 kilogram. Tapi perubahan besar itu tidak datang tanpa jejak. Kulitnya yang lama meregang kini menggelambir, meninggalkan bekas dari perjuangan panjangnya.

Meski kadang malu, Dina sudah berdamai. “Inilah aku,” pikirnya.

Di tengah perjalanannya, ada sosok laki-laki bernama Raka. Awalnya hanya teman biasa. Pendiam, tidak terlalu mencolok saat ngumpul, hanya ikut senyum atau ketawa. Tapi kalau sudah ngobrol dengan Dina, entah kenapa obrolannya bisa panjang — dari topik film, buku, sampai hal-hal filosofis tentang hidup. Raka selalu menyisakan kursi di sebelahnya setiap kali mereka nongkrong bareng teman-teman.

Mereka berteman cukup lama sampai akhirnya, di luar dugaan, Raka menyatakan perasaannya.

Dina kaget. Raka itu, kalau boleh jujur, paket lengkap: usia matang, penampilan oke, kerjaan stabil, gaji cukup untuk liburan tahunan tanpa harus mikir dua kali. Sedangkan dia? Walaupun mandiri, Dina masih harus nyicil buat beli sepatu bagus. Dia minder, apalagi dengan kondisi fisiknya yang menurutnya “tidak sempurna”.

Tapi Raka tidak mundur. Dia sabar, terus meyakinkan Dina. Suatu saat, Dina pun mengajaknya ke Bali — bukan untuk romantisan, tapi untuk menguji. Ia memakai celana pendek, membiarkan gelambir di kakinya terlihat, ingin tahu bagaimana reaksi Raka.

Raka? Dia malah makin semangat. “Ayo jalan lagi!” katanya waktu itu.

Di satu momen perjalanan, Raka bicara dari hati ke hati. Ia bilang dia jatuh cinta dengan seluruh versi Dina, terutama dengan determinasi Dina yang berani mengubah hidupnya. Dia sendiri selama ini juga sedang berjuang dengan hidupnya — dan dia ingin berjodoh dengan seseorang yang bisa menikmati proses dan bersyukur atas hasil.

Dina menangis malam itu. Tapi itu tangis lega. Tangis bahagia.

Mereka menikah tak lama setelah itu. Sekarang sudah dua tahun sejak hari itu. Di rumah kecil yang hangat di pinggiran kota, mereka menanti kelahiran anak pertama — hasil dari cinta yang tumbuh bukan karena kesempurnaan, tapi karena keberanian untuk terus berjalan.


Image by Arbaz Khan from Pixabay