Posted in

Dalam Mobil yang Sama

Dalam Mobil yang Sama
Dalam Mobil yang Sama

Namaku Alya. Sejak awal pernikahan, aku tahu suamiku, Fadil, adalah tipe pria yang bisa dipercaya. Bukan tipe tukang selingkuh, bukan juga tipe pembohong. Tapi sejak ia pindah kerja jadi marketing di sebuah perusahaan swasta, benih keraguan mulai tumbuh… pelan, tapi menyakitkan.

Ada satu nama yang selalu mengusik: Mba Nabila — atau biasa dipanggil Mba N. Teman satu tim Fadil. Wanita. Hamil. LDM dengan suaminya. Kos sendirian.

Kedengarannya tidak ada yang salah, kan?

Tapi aku tahu perasaanku. Perasaan yang sering kali disebut “berlebihan”, tapi nyatanya hampir tak pernah salah.


Aku pernah sekali ketemu langsung Mba N dan suaminya saat ada acara kantor. Jujur saja, suaminya memang menarik. Ganteng, dewasa, tenang. Tapi ada sesuatu yang… dingin. Bahkan saat itu, di hadapan banyak orang, suaminya nyaris tak menyentuh Mba N. Tatapan kosong. Bahasa tubuh asing. Dan entah kenapa, itu malah membuatku semakin waspada.

“Selama setahun ngekos di sini, suamiku baru sekali datang ke kosan. Itu pun karena aku ngeluh,” cerita Mba N suatu kali, yang ditirukan Fadil.

Aku cuma mengangguk. Tapi di dalam kepala, alarmku meraung.


Sejak kami bertengkar besar malam itu — karena Fadil semobil hanya berdua dengan Mba N tanpa bilang — aku membuat satu perjanjian yang bagiku… menyedihkan. Fadil harus menelponku setiap kali ia berangkat dan harus membiarkan sambungan tetap aktif selama di jalan. Seolah-olah aku jadi “penumpang ketiga” di mobil dinas mereka.

Memang… Mba N tidak tahu kalau suara mereka kadang terdengar. Tapi dengan begitu aku bisa tahu obrolan mereka. Kadang hanya diam. Kadang hanya soal rute dan kerjaan. Tapi tetap saja, dua orang yang bukan muhrim, dalam ruang sempit selama berjam-jam, terlalu banyak membuka kemungkinan.

Fadil bilang ia tak bisa menghindari itu. Perintah atasan. Lagipula hanya mereka bertiga di tim marketing. Dan hanya Mba N yang tak punya kendaraan operasional.

“Kenapa cuma dia?” tanyaku.

Fadil tak tahu.


Pernah suatu malam, jam 21:30, Mba N minta diturunkan di depan gang kosannya. Di situ, aku merasakan dua emosi bertabrakan: cemburu dan khawatir. Takut Mba N kenapa-kenapa, takut Fadil disalahkan. Tapi juga takut… rasa nyaman mulai tumbuh dari kebersamaan mereka.

Aku tahu Mba N sering nebeng. Dulu ke Pak M. Sekarang ke Fadil. Dan seakan selalu ada laki-laki yang jadi “penjemput dan pengantar setia” buatnya. Padahal aku… aku bahkan tak pernah mau minta tolong teman kerjaku yang laki-laki, selama masih bisa naik ojek atau jalan kaki.

“Kenapa suamiku harus jadi penolong dia?” batinku, berkali-kali.


Fadil bilang, “Aku profesional. Aku kerja buat kamu, buat keluarga kita.”

Aku percaya. Aku mau percaya. Tapi malam-malam saat dia baru pulang setelah antar-jemput Nabila, aku sering sesak napas. Kepala pusing. Pikiranku berkecamuk seperti hujan badai yang tak kunjung reda.

Apa aku terlalu curiga?
Apa aku hanya sedang kalah oleh rasa tidak aman dalam diriku sendiri?

Tapi… bagaimana kalau dugaanku benar?

Lalu, apa aku harus tunggu semuanya hancur dulu untuk tahu siapa yang salah?


Photo by Sven D on Unsplash