Posted in

Di Antara Beban dan Harapan: Kisah Kakak yang Tak Pernah Menyerah

Di Antara Beban dan Harapan: Kisah Kakak yang Tak Pernah Menyerah
Di Antara Beban dan Harapan: Kisah Kakak yang Tak Pernah Menyerah

Aku masih ingat betul bagaimana hidupku berubah sejak orang tua meninggal. Seolah dunia ini terlalu besar untuk kutaklukkan sendirian. Usia baru 18 tahun, aku harus mengurus dua adik yang masih terlalu muda untuk memahami kesulitan hidup. Tidak ada pilihan lain selain bekerja serabutan. Aku pernah jadi buruh angkut, penjaga warung, hingga teknisi komputer di tempat reparasi kecil.

Suatu hari, pada tahun 2016, aku bertemu dengan Pak Arya. Waktu itu, aku sedang membantu memperbaiki komputer teman di sebuah kafe kecil. Pak Arya mendekat, memperhatikan caraku bekerja. Tanpa basa-basi, beliau menawariku pekerjaan di kantornya. Katanya, beliau butuh orang yang bisa mengurus IT. Aku tidak menyangka, orang yang tampak serius dan penuh wibawa itu justru memberiku kesempatan besar. Di kantor, aku jadi satu-satunya lulusan SMK, sementara yang lain rata-rata sarjana. Tapi Pak Arya tidak pernah membeda-bedakan. Aku merasa dihargai.

Hari-hariku pun berubah. Gaji tetap dan lingkungan kerja yang nyaman membuatku sedikit lega. Namun, tanggung jawabku sebagai kakak tidak pernah berkurang. Adikku yang laki-laki, Dimas, sudah menyelesaikan S1 Manajemen, tapi sampai sekarang belum juga bekerja. Bukan karena tidak ada lowongan, tapi karena dia terlalu memilih. Aku sempat merekomendasikannya ke Pak Arya, tapi setelah wawancara, Dimas malah menolak karena gaji awalnya tidak sesuai harapannya.

Adikku yang perempuan, Santi, juga membuat hatiku gundah. Dia seharusnya sudah menyelesaikan kuliah kebidanan, tapi malah menikah duluan karena hamil di luar nikah. Suaminya sempat bekerja, namun setelah PHK tiga tahun lalu, praktis semua kebutuhan mereka aku yang tanggung. Bahkan setelah punya anak pun, Santi masih bergantung padaku. Aku sering berpikir, apa aku yang salah mendidik mereka? Mengapa mereka tumbuh jadi pribadi yang seolah tidak peduli dengan keadaan?

Beberapa kali aku berpikir untuk menikah, tapi rasanya belum waktunya. Rumah kontrakanku terlalu sempit, dan membawa istri ke situ rasanya tidak pantas, apalagi aku tinggal bersama Santi dan anaknya. Aku hanya bisa berharap suatu hari nanti semua ini berubah.

Kemarin, dadaku sesak lagi. Rasanya seperti dihimpit batu besar. Saat di rumah sakit, aku mendengar dokter berbicara soal penyempitan pembuluh jantung. Aku tidak begitu paham medis, tapi dari raut wajah dokter, aku tahu ini bukan hal sepele. Namun, ketika kulihat sekeliling, tidak ada satu pun dari adik-adikku yang datang. Bahkan Dimas yang pengangguran pun tidak terlihat. Hanya Pak RT yang menemaniku sejak awal.

Ketika Bu Arya datang menjenguk, beliau menanyakan tentang adik-adikku. Aku hanya bisa tersenyum dan bilang bahwa ada Pak RT yang menemani. Tidak mungkin aku mengeluh, apalagi mencaci mereka. Mereka tetap adikku, bagaimanapun sifatnya. Aku hanya berharap mereka mengerti suatu hari nanti, bahwa hidup bukan hanya tentang menerima, tapi juga memberi. Aku tak pernah menyalahkan mereka secara langsung, tapi dalam hati, ada rasa sepi yang sulit kujelaskan.

Aku menatap langit-langit rumah sakit dan bertanya pada diriku sendiri: Sampai kapan aku harus kuat sendirian?


Photo by Wicliff Thadeu on Unsplash