Posted in

Di Balik Dinding Tipis Itu

Namanya Bulan. Seorang perempuan cantik, berkulit bersih, ramah, dan punya senyum yang selalu tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Dia dan keluarganya pindah ke rumah sebelah beberapa bulan lalu—rumah kami hanya dipisahkan dinding tipis, literally tipis, karena struktur bangunannya memang nempel.

Bulan punya dua anak laki-laki, satu berumur hampir 4 tahun dan satu lagi belum genap 2 tahun. Suaminya, Andra, lelaki tinggi berwajah menarik. Sekilas mereka tampak pasangan ideal. Aku sendiri pernah bilang ke suamiku, “Ih, tetangga baru cakep-cakep ya.” Suamiku malah nyeletuk, “Iya, istrinya juga cantik.”

Awalnya aku dan Bulan hanya saling sapa di taman saat jagain anak. Lama-lama kami mulai ngobrol—tentang iuran sampah, keamanan kompleks, sampai akhirnya dia juga jadi langganan kecil jualan online-ku. Dari situ kami simpan nomor WhatsApp, saling lihat status, dan makin sering bertukar cerita.

Tapi… tidak semua tetangga suka sama Bulan.

Dia tipe yang blak-blakan, meledak-ledak, kadang kalau ngomel ke anak-anaknya semua isi kebun binatang keluar. Kadang pula suaminya teriak-teriak kasar di depan rumah, yang otomatis kedengaran sekomplek. Sebagian tetangga mulai menjaga jarak. Ada yang bahkan terang-terangan pasang wajah ketus tiap Bulan menyapa.

Aku, yang kerja dari pagi sampai Maghrib, jarang nimbrung ibu-ibu kompleks. Tapi Bulan sering cerita soal bagaimana dia merasa dijauhi. Aku cuma bisa bilang sambil bercanda, “Ibu-ibu sini lagi sumpek kali, Wang. Jangan dimasukin hati.”

Dia tertawa waktu itu. Aku senang bisa membuatnya tertawa. Tapi aku juga tahu di balik tawanya ada kekalutan yang sering muncul tanpa aba-aba.

Kami makin dekat. Chat receh dia, dari menu makan siang sampai masalah Gojek yang nggak pernah berhenti depan rumah. Tapi makin lama… aku merasa ada yang mulai berubah.

Bulan mudah tersinggung. Kadang dia WA panjang hanya karena satu responku yang menurut dia nggak “masuk”. Aku tetap tanggapi dengan sabar, tapi makin hari aku bisa lihat… dia lelah. Lelah yang bukan karena dua anak balita. Tapi lelah karena perasaannya sendiri.

Dia pernah bilang, “Kenapa ya, anak tetangga kalau disapa anakku nggak pernah balas? Anakku kan cuma bilang ‘halo tante’, masa diem aja?”

Aku jawab seadanya, “Malu mungkin, Wang. Mungkin belum kenal.”

Tapi itu malah bikin dia makin kesal. Sejak itu chat-nya berkurang. Aku yang lebih sering lihat statusnya. Kadang status rohani, kadang nyindir tetangga, kadang nangis sesenggukan sambil tulis caption “ya Allah, kuatkan aku.”

Lalu… ada satu hari yang aneh.

Dia WA, “Mba, aku telat dua minggu. Hamil nggak ya?”
Besoknya dia kirim foto tespek garis dua. Bahagianya bukan main. “Doain ya mba, semoga cewek. Biar Andra seneng.”

Aku ikut bahagia, meskipun aku tahu… anak dua saja dia sering kelabakan. Tapi aku hanya bisa berharap semoga kehamilan ini membawa ketenangan.

Tapi kemudian statusnya berubah lagi. Lebih kelam. Salah satunya yang bikin aku benar-benar gemetar:

“Mending lo bunuh gua aja, biar lo seneng semua. Jahat lo semua sama gua.”

Aku langsung balas, “Mba.. istighfar. Inget anak-anak. Kamu juga lagi hamil. Jaga pikiran, jaga ucapan.”

Lalu pecahlah semua.

Dia cerita panjang lebar tentang hidupnya. Tentang masa kecilnya yang rusak karena keluarga yang pecah. Tentang mertua yang selalu menyalahkan. Tentang suami yang selingkuh dan menghilang dari tanggung jawab. Aku membaca sambil menahan napas. Aku nggak tahu harus jawab apa selain, “Aku di sini kok, Wang. Aku dengerin.”


Dua hari sebelum dia pergi, aku masih dengar suaranya marah-marah dari balik dinding. Aku pikir biasa. Tapi ternyata itu terakhir.

Rumahnya sepi. Kupikir dia menginap di rumah ibunya. Sampai suatu pagi, pesan dari Oma tetangga kami masuk:

“Bulan kritis. Sekarang di ICU. Doakan ya.”

Hatiku mencelos. Aku belum pernah tahu kondisi ICU seburuk itu.

Aku hanya bisa memantau lewat Oma. Katanya Andra suaminya… bahkan tidak mau nunggu di rumah sakit. Dia tetap tinggal di rumah, sama anak-anak.

Pagi itu, setelah Subuh, kulihat status Oma:
“Innalillahi wa innailaihi rojiun, Kak.”

Tanganku bergetar. “Jangan-jangan…” pikirku.

Pesan lain masuk:
“Mbaa Sar, maafin Bulan ya. Doain semoga aku dan anak-anak kuat.”

Aku tak bisa berkata apa-apa. Air mata tidak keluar, tapi dadaku sesak, penuh.
Ambulans lewat. Toa masjid mengumumkan kabar duka. Aku terduduk di lantai, kosong.

Di balik dinding tipis itu…
Aku kehilangan seorang tetangga. Seorang teman.
Seorang ibu muda yang terlalu banyak memendam luka, tapi dunia tak pernah benar-benar mengerti.


Photo by Caroline Attwood on Unsplash