Posted in

Di Balik Meja Riset

Di Balik Meja Riset
Di Balik Meja Riset

Di sebuah lembaga riset kebijakan nasional, bekerja seorang peneliti muda bernama Rynata, atau akrab dipanggil Ryn. Ia adalah tipe orang yang tenang, rajin, dan menjunjung tinggi adab—terutama di ruang profesional. Salah satu koordinasinya berada di bawah supervisi Alvaro, koordinator riset sejarah ekonomi. Alvaro ini cerdas, cepat tanggap, dan sangat menguasai bidangnya—sayangnya, satu hal yang membuat banyak orang enggan dekat dengannya adalah attitude-nya yang buruk.

Di kantor, siapa pun yang ia anggap “di bawah” levelnya—akan diperlakukan semena-mena. Ia suka menyuruh-nyuruh seenaknya, dan memanggil orang tanpa sapaan hormat. Bahkan kepada Pak Warso, koordinator IT berusia 50-an, yang jauh lebih senior, Alvaro dengan santai memanggil namanya begitu saja—kadang malah meledek, “Warso, ambilin laptop gue di meja, cepetan ya.”

Waktu itu Ryn dan atasannya, Bu Lira, sama-sama ada di ruangan saat kejadian itu terjadi. Bu Lira sampai berbisik, “Ryn, itu Alvaro kenapa kelakuannya gitu ya? Tolong nanti kamu tegur baik-baik.”

Sebagai peneliti senior dan juga diam-diam pengawas etika untuk proyek internal, Ryn menjalankan tugas itu dengan hati-hati. Keesokan harinya, ia memanggil Alvaro, “Mas Al, bisa ngobrol sebentar?”
“Iya Ryn, kenapa?”
“Soal kemarin… Mas nyuruh Pak Warso ambil laptop di depan atasan. Kurang pantas, Mas. Beliau itu koordinator juga, dan jauh lebih tua.”
Alvaro hanya mengangguk diam. Tapi dua hari kemudian, kembali ke tabiat lama.

Dalam beberapa kesempatan, Ryn sering jadi tempat curhat Pak Warso. Mungkin karena mereka satu daerah asal—sama-sama dari Jawa Timur. Saat istirahat, Pak Warso berkeluh dengan logat medoknya, “Ryn, koncomu kuwi jancuk tenan. Aku ki luwih tuwo, kok iso yo ora nduwe etika. Padahal loh, awake dewe ngerti dewek kuwi korupsi.”
Ryn terkejut. Tapi ia menyimpan dulu info itu, mencoba mencari tahu lebih dalam.

Ia pun teringat akan komentar-komentar nyinyir Alvaro yang sering muncul. Saat Ryn beli iPhone untuk kerja, Alvaro nyeletuk, “Ah paling HDC.” Tak lama, dia beli juga. Saat Ryn bawa iPad, Alvaro bilang, “Mainan anak gue tuh.” Tapi besoknya muncul dengan iPad baru juga.
Dalam hati Ryn cuma bergumam, “Bgsd, urusanku opo sih ini orang…”

Semakin lama, Ryn merasa ada yang tidak beres. Apalagi saat seorang temannya—peneliti muda yang baru dikaruniai anak—dipecat karena dianggap “tidak kooperatif” dalam tim. Ternyata yang memfitnah adalah Alvaro. Alasannya sederhana: si peneliti muda bukan bagian dari “lingkaran korupsi” Alvaro.

Saat itu bulan Januari 2023. Ryn bimbang—ia tahu apa yang sedang terjadi, tapi juga menyadari bahwa satu laporan bisa memutus karir seseorang. Namun, ia juga tahu bahwa uang negara sedang dimakan, dan masa depan institusi dipertaruhkan. Akhirnya, ia lapor ke Bu Lira.

“Bu, saya sudah hitung, ada penyimpangan pajak penelitian. Harusnya potongannya hanya 2,5%, tapi Alvaro menaikkan jadi 10%. Yang 7,5% masuk kantong pribadi. Jika dihitung dari empat tahun terakhir, totalnya sekitar 5 miliar.”
Bu Lira hanya mengangguk pelan. “Saya sudah curiga lama. Oke, nanti kamu dibantu tim audit. Kita pastikan.”

Dua minggu berikutnya, audit internal berjalan intens. Fakta demi fakta terbuka. Semua sesuai dugaan Ryn. Dana yang seharusnya disalurkan ke para dosen dan peneliti eksternal, dimanipulasi melalui potongan pajak fiktif. Jumlahnya fantastis. Dan anehnya, posisi Alvaro selama ini bukan pegawai tetap. Ia hanya non-organik—tapi bisa mengatur sedemikian rupa karena dipercayai penuh.

Sebulan kemudian, Alvaro dijatuhi sanksi. Ia dipecat, disidang internal, dan akhirnya dilaporkan ke pihak berwenang. Tak lama, kabar perceraian pun menyusul. Istrinya meninggalkan Alvaro yang kini tak punya penghasilan, reputasi, maupun kepercayaan dari siapa pun. Padahal sebelumnya, mereka adalah pasangan flamboyan dengan gaya hidup jetset.

Di satu sore yang tenang setelah badai itu reda, Ryn duduk sendiri di ruang kerjanya. Ia menatap layar kosong, lalu menulis di catatan digitalnya:

“Kadang orang yang paling bersinar bukanlah yang paling tinggi ilmunya. Tapi yang paling jujur, paling tulus, dan paling manusia.”


Photo by Tai Bui on Unsplash