Posted in

Es Krim dan Janji yang Tak Lumer

Es Krim dan Janji yang Tak Lumer
Es Krim dan Janji yang Tak Lumer

Dulu, ketika langit belum segelap kenangan dan dunia masih sederhana seperti harga es krim Rp300, aku pernah jajan dari penjual es krim keliling. Dengan semangat bocah yang menemukan surga kecil di tengah siang yang panas, aku membayar dengan uang receh lima ratusan. “Kembaliannya dua ratus ya, Pak,” kataku sambil menyerahkan koin logam.

Namun, pria itu—dengan sepeda tuanya dan wajah legam terbakar matahari—hanya tersenyum tipis. “Tidak punya kembalian. Lain kali saja saya berikan. Atau besok, saya lewat sini lagi. Atau kalau kita ketemu di jalan.”

Besoknya, dan besok-besoknya lagi, dia tak pernah lewat depan rumahku. Tapi aku masih beberapa kali melihatnya di jalan. Tiap kali aku tagih, dia selalu mengelak. “Tidak ada uang dua ratus,” katanya sambil berlalu. Seolah Rp200 tak lebih dari debu yang menempel di rodanya.

Suatu hari yang panas, aku bermain cukup jauh dari rumah. Matahari seperti sedang mendidihkan aspal. Tenggorokanku kering. Dalam hati aku berharap punya sekadar seratus rupiah untuk membeli es lilin. Tapi aku tak membawa uang.

Lalu aku melihat dia. Si penjual es krim yang masih aku hafal seragam dan sepedanya. Aku mengejarnya, dengan harapan dia akhirnya membayar kembali hakku. “Pak, yang dua ratus itu…,” ujarku penuh harap. Tapi dia kembali menolak. Bukan hanya menolak. Dia mengusirku dengan tangan, seperti mengusir ayam.

Di sanalah, untuk pertama kali dalam hidupku, aku merasa patah hati oleh orang dewasa. Ternyata, ada orang yang bisa berdusta kepada anak kecil. Berani berjanji, tapi tak berniat menepatinya. Aku tahu dia ingat siapa aku. Saat dia berjanji, aku satu-satunya pembelinya siang itu.

Aku masih beberapa kali bertemu dia setelahnya. Tapi aku berhenti menagih. Bukan karena aku sudah memaafkan. Tapi karena aku sudah putus asa. Lelah ditolak, lelah berharap. Dan dua ratus itu, yang mungkin baginya sepele, telah mengajarkanku tentang luka kecil yang tak pernah benar-benar sembuh.

Sampai sekarang, setiap kali kulihat penjual es krim bersepeda, kenangan itu mencuat. Wajahnya, seragamnya, semua masih jelas di ingatanku.

Dan sekarang aku tahu, ketika seseorang tak lagi menagih utangmu, bukan berarti dia lupa. Bisa jadi dia hanya sudah lelah menagih. Mungkin dia menyerahkan sisanya untuk kau bayar di tempat lain—di akhirat nanti.


Photo by E L on Unsplash