Posted in

Fatamorgana di Kampus Malam (Part 1)

Fatamorgana di Kampus Malam
Fatamorgana di Kampus Malam

Tahun 2016 adalah tahun paling penuh harapan bagiku. Namaku Zaitun, anak desa dari pelosok Jawa Timur, yang memutuskan merantau ke Sidoarjo untuk kuliah di sebuah kampus swasta. Seperti banyak anak muda lainnya, aku datang dengan pikiran yang terlalu banyak dipengaruhi sinetron — membayangkan mahasiswa kota sebagai kumpulan anak-anak berkulit mulus, wangi, bergaya, dan tentu saja… kaya raya.

Keseharianku cukup padat. Pagi sampai sore kerja di perusahaan kontraktor, lalu malam kuliah. Untungnya, aku tinggal di mess kantor di Surabaya — sebuah rumah dua lantai di kompleks elit yang kerap dijaga oleh beberapa pos satpam. Aku tinggal di lantai dua, sendiri. Kantorku ada di lantai bawah.

Semester pertama, aku masuk dalam satu kelompok tugas dengan beberapa teman, termasuk Sarif — cowok supel dan cerewet — yang saat itu menjalin hubungan dengan seorang gadis bernama Yasmine.

Yasmine adalah gadis yang cukup mencolok di kelas. Penampilannya trendi, logatnya halus, dan gaya bicaranya terkesan “kelas atas.” Suatu hari, saat kelompok kami berkumpul di mess untuk mengerjakan tugas, Sarif sempat nyeletuk saat menikmati camilan, “Eh, rumahnya Yasmine tuh kayak gini juga, loh. Di perumahan elit gitu. Tapi dia tinggal cuma sama pembantunya, soalnya orang tuanya sibuk, sering ke luar negeri.”

Aku hanya mengangguk sambil pura-pura kagum. “Wah… enak ya hidupnya,” komentarku singkat. Dalam hati aku merasa makin kecil. Kupikir benar dugaanku, aku si kere yang masuk ke dunia orang berada.

Hari-hari berlalu. Lalu datang kabar mengejutkan: Ayah Yasmine meninggal dunia. Teman-teman sekelas langsung berinisiatif menggalang dana. Tapi ada hal aneh yang tak luput dari perhatian — tidak ada satu pun dari geng dekat Yasmine yang datang menjenguk ke rumahnya. Bahkan mereka tampak tidak tahu-menahu di mana rumahnya.

Waktu itu kami menganggap mereka tidak peka. Tapi ternyata… mereka memang nggak tahu rumah Yasmine. Setiap ada yang berniat berkunjung, Yasmine selalu beralasan, “Masuk ke komplek rumahku ribet banget, harus setor KTP ke satpam, terus ganti kartu akses segala.”

Akhirnya, tidak satu pun dari kami yang pernah benar-benar melihat seperti apa rumah Yasmine. Tapi karena kami peduli, dana bantuan tetap dikumpulkan dan entah bagaimana sampai ke tangannya.

Yasmine juga sering terlihat nongkrong dengan teman-teman dari kalangan “atas.” Kadang dijemput pakai mobil mewah, kadang bareng-bareng naik kereta ke luar kota. Ia selalu minta dijemput di masjid dekat rumahnya — lagi-lagi, karena alasan “prosedur ribet” masuk ke kompleknya.

Di media sosial, kehidupannya seperti bintang reality show: ke salon, belanja skincare, nge-gym, brunch cantik di café hits, bahkan kadang live sambil nyobain makanan mahal. Kami semua, meski tidak terang-terangan, iri juga sih.

Sampai akhirnya, semua berubah di hari ibu.

Seperti mahasiswa lain, Yasmine memposting foto “ibunya” — seorang wanita cantik, tas branded, gaya sosialita sejati. Tapi beberapa hari kemudian, teman dekat Yasmine bernama Cessa mendapat notifikasi pengikut baru di Instagram. Iseng, ia buka profilnya.

Ternyata akun itu memajang foto keluarga sederhana. Seorang bapak, ibu berkerudung, dua anak perempuan. Dan… salah satu dari mereka jelas adalah Yasmine. Tapi foto itu diunggah beberapa hari setelah “kematian” sang ayah yang katanya sudah wafat. Artinya?

Bohong.

Yang disebut “ibunya” di story ternyata adalah tantenya, wanita kaya raya yang kadang memang dekat dengan Yasmine. Sementara sosok ibu kandungnya — yang ada di foto keluarga sederhana itu — jauh dari gambaran sosialita.

Berita itu menyebar di antara kami. Tapi tak ada satu pun dari kami yang berani membongkar sandiwara itu di depan Yasmine. Entah karena kasihan, atau karena ingin melihat sejauh mana cerita ini akan bertahan.

Kami akhirnya menonton, dalam diam, pertunjukan seorang gadis yang hidup dalam dunia ilusi — dan kami, penontonnya yang setia.

(Bersambung ke Part 2)


Photo by Melissa Askew on Unsplash