Posted in

Filter Kedua

Filter Kedua
Filter Kedua

Namaku Zelira, 28 tahun, kerja sebagai konsultan HR di Surabaya. Dua bulan lalu, aku match dengan seorang pria di aplikasi kencan. Namanya Nafis, usia 32. Dari awal, dia kelihatan beda—nggak banyak basa-basi, obrolannya nyambung, dan dia keliatan tulus. Setelah seminggu chatting, kami memutuskan ketemu di sebuah kafe dekat Tunjungan.

Seiring waktu, aku merasa nyaman banget sama dia. Obrolan kami makin dalam, sering diskusi soal hidup, mimpi, bahkan keluarga. Aku mulai membayangkan masa depan bersamanya. Apalagi, dia pernah bilang pengin main ke rumah dan kenalan sama orang tuaku. Katanya, biar mereka tahu dia serius.

Tapi waktu terus berlalu, dan wacana itu nggak pernah jadi kenyataan. Katanya sih, “Belum nemu waktu yang pas buat pulang bareng.” Kami memang sama-sama asli Surabaya, tapi entah kenapa jadwal kami selalu “nggak cocok”.


Dua minggu lalu, kami ketemu lagi. Aku iseng nanya, “Masih main dating app nggak?”
Dia jawab, “Udah enggak. Aku uninstall sejak nemu kamu.”
Jawaban itu bikin aku senyum kecil, tapi ada bisikan ragu dalam hati.

Seminggu kemudian, aku ngajak dia ngopi sore. Tapi dia batalin, bilang alerginya kambuh dan harus istirahat total. Aku ngerti, bilang nggak papa. Tapi beberapa jam kemudian, aku lihat dia bikin story WA lagi di kafe, duduk sendiri sambil pegang gelas kopi. Kayaknya lupa nge-hide aku. Entah kenapa, dadaku sesak.

Aku mulai mikir… jangan-jangan dia bukan cuma sama aku.


Instingku bilang, aku harus pastikan. Jadi, diam-diam aku instal ulang aplikasi kencan itu di HP keduaku. Aku bikin akun palsu: nama samaran, foto dari Pinterest, dan bio yang sengaja dibuat menarik tapi nggak lebay. Lalu aku cari profil Nafis… dan ketemu.

Dengan jantung deg-degan, aku swipe kanan.

Dan… match.

Beberapa menit kemudian, dia kirim chat. Obrolan ngalir lancar. Aku ngetes dia pelan-pelan, dari hal umum sampe ke arah obrolan +18. Beberapa hari kemudian, dia mulai ngajak ketemuan. Di tengah chat, dia tulis:

“Kangen banget rasanya bisa peluk kamu…”
“Kalau aku main ke tempatmu, kamu sendirian gak?”
“Nggak sabar pengin cium kamu langsung…”

Aku baca itu dengan mata terbuka lebar. Separuh hatiku remuk, separuh lagi merasa lega karena kebenaran akhirnya muncul.


Aku nggak pernah balas lagi akun palsu itu. Tapi malam itu aku hapus semua chat dari Nafis, lalu blokir nomornya.

Mungkin aku terlalu nekat. Tapi kadang, kita butuh filter kedua buat tahu siapa orang yang kita ajak berjalan bareng. Untung belum terlalu jauh. Untung belum sempat dia duduk di ruang tamu rumahku dan bilang ke orang tuaku, “Saya serius sama anak Bapak-Ibu.”

Semoga ini bisa jadi pelajaran buat perempuan lain juga. Bukan ngajarin buat curiga buta, tapi buat percaya sama instingmu sendiri.


Photo by Tim Mossholder on Unsplash