Posted in

Gadis Kecil di Bawah Gerobak yang Terbalik

Gadis Kecil di Bawah Gerobak yang Terbalik
Gadis Kecil di Bawah Gerobak yang Terbalik

Suatu hari, lima belas tahun yang lalu, di sebuah desa kecil yang sunyi dan penuh tradisi, kenangan kelam itu tercetak jelas dalam ingatan saya—seperti ukiran pahit di dinding masa kecil. Saat itu umur saya baru sebelas tahun, hari di mana desa kami ramai oleh suara musik dangdut yang menggema hingga ke ujung sawah. Ada pesta sunatan anak Pak Kades, dan semua orang datang—berpakaian rapi, tertawa, berjoget, dan menikmati jajanan kaki lima yang berjajar di halaman rumah besar Pak Kades.

Saya ingat, saya sedang mengantre bakso, perut lapar dan sabar menanti giliran. Di depan saya, berdiri seorang anak perempuan, mungkin sebaya saya. Ia berambut pendek, mengenakan dress cokelat sederhana yang sedikit kusam, tapi manis dipandang. Ia menoleh ke belakang, lalu ke gerobak, lalu berkata pelan kepada seorang pria tua di balik panci besar yang mengepul:
“Kek… minta duit, pengen jajan.”
Ia tersenyum kecil. Rupanya, ia adalah cucu dari si tukang bakso.

Angin tiba-tiba berhembus kencang. Plastik-plastik beterbangan, debu naik ke udara, dan musik dari panggung terdengar goyah diterpa tiupan badai kecil yang tak biasa. Orang-orang mulai menoleh ke langit, khawatir hujan akan turun. Namun, sebelum hujan datang, bencana lebih dulu menyapa.

Entah bagaimana, mungkin karena dorongan angin atau dorongan kerumunan yang berebut bakso, gerobak bakso itu terguling. Panci besar berisi kuah mendidih tumpah, dan sekejap, suara jeritan menggema—lebih keras dari dentuman dangdut. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana air panas itu menyiram tubuh si gadis kecil dari leher hingga kaki. Dress cokelatnya lekat di kulit, lalu sobek oleh panas.

Tapi… yang paling aneh dan menggetarkan hati adalah: ia tidak menangis.
Tidak sepatah pun.
Ia berdiri, menggigit bibirnya hingga berdarah, tubuhnya gemetar, telanjang, namun tak bersuara. Beberapa orang dewasa buru-buru menolong, melepas sisa bajunya, menyiram tubuhnya dengan air—lalu, entah kenapa, ada yang menuangkan kecap. Saya tak tahu apakah itu mitos atau kebingungan, tapi semua orang panik.

Si kakek, yang sejak tadi terpaku, akhirnya membopong cucunya yang lemas namun masih membuka mata. Mereka naik motor, menuju puskesmas. Semua orang diam, menatap, sebagian masih menangis. Tapi hanya beberapa meter dari lokasi, suara teriakan parau terdengar. Teriakan yang tidak akan pernah saya lupakan.
“Anaaaaaaaaakkk…!!!”

Kakek itu berteriak seperti binatang terluka, tangisnya memecah suasana.
Anak itu—cucu kesayangannya—telah meninggal dunia di pelukannya. Di atas motor tua yang seharusnya membawa harapan, kini membawa kematian.

Sejak hari itu, gerobak bakso itu tidak pernah muncul lagi di pinggir jalan desa kami. Padahal dulu, baksonya paling enak. Tapi kami semua tahu, bukan bakso yang hilang, melainkan semangat seorang kakek yang kehilangan segalanya.

Saya, yang saat itu hanya bocah 11 tahun, menyaksikan semuanya. Dan meski waktu terus berjalan, kadang memori itu datang tanpa diundang. Potongan-potongan peristiwa itu—angin, jeritan, bibir berdarah, tubuh kecil yang diam menggigil—semuanya seperti kaset rusak yang terus memutar bagian yang sama.

Sekarang, lima belas tahun berlalu, dan setiap saya mendengar suara gerobak, atau mencium aroma kuah bakso, hati saya selalu berdesir. Mungkin… mungkin anak berambut pendek itu sekarang sudah berlarian bebas di taman surga, tanpa rasa sakit, tanpa panas, tanpa takut.

Al-Fatihah…
Untuk gadis kecil itu. Yang begitu kuat.
Yang kisahnya tetap hidup, dalam kenangan satu desa.


Photo by Azzadiva Sawungrana on Unsplash