Posted in

Istri Pengganti

Istri Pengganti
Istri Pengganti

Ini adalah kisahku. Tentang menjadi istri, menjadi perempuan, menjadi seseorang yang dipilih, atau hanya sekadar menggantikan.

Setelah menikah di bulan Januari, aku dan suamiku langsung LDM. Dia kembali ke Kota B, tempat dia bekerja. Aku tetap di Kota A, melanjutkan pekerjaanku. Hari itu, sebelum dia berangkat, dia menyerahkan nafkah pertama kami. Uang tunai di kantongnya—Rp256.500, lengkap dengan 500 peraknya. “Semua ini untukmu,” katanya. Aku senyum saja, dalam hati: biarlah sedikit, yang penting niatnya besar.

Bulan kedua, kontraknya habis. Tak ada lagi nafkah. Aku yang mulai bantu-bantu sekadar beli paket data. Kupikir, masa iya aku biarkan suamiku hilang kabar? Tak enak rasanya. Bulan ketiga, keempat, kelima, dia masih belum kerja. Kami tetap LDM. Ramadhan datang, yang katanya penuh berkah. Tapi suamiku masih belum dapat pekerjaan.

Aku main Facebook suatu malam, iseng scroll-scroll. Mataku terpaku di komentar mertuaku:
*”Kirim dulu alamat lengkap rumah kampung, si Abang ini mau kirim keperluan dan perlengkapan lebaran si *****.”

Tensiku langsung naik. Berbulan-bulan dia tak mampu beri nafkah, tak ada kiriman apa-apa, tapi bisa-bisanya mau ngirimi anak tirinya keperluan lebaran? Aku yang bayar pulsa, lunasi cicilan motornya, bahkan satu kali transfer sejuta waktu itu. Otakku mendidih.

Kutelpon dia.

“Kau nafkahi binikmu aja tak becus, tapi untuk anak orang lain bisa kau kirim perlengkapan lebaran?”

“Kapang aku ngasih? Makan aja aku susah di sini.”

“Makmu itu yang bilang di Facebook, jangan kau bohong!”

Akhirnya dia bersumpah. Katanya, bukan dia yang ngirim. Katanya lagi, mungkin mertuaku yang kirim, biar si cucu perempuan senang. Aku diam. Ternyata benar, ibunya ingin membahagiakan cucu perempuan itu. Karena cucu pertamanya laki-laki, bukan perempuan seperti yang dia harapkan. Aku bukan tak ikhlas—aku hanya ingin dihargai. Karena kalau suamiku kirim diam-diam, itu artinya aku bukan bagian dari keputusannya. Aku bukan istrinya, cuma pelengkapnya.

Lebaran tiba. Dia kirim uang Rp100.000—katanya, sudah dapat kerjaan sedikit. Uang itu kukasih ke ibuku, dimasakinlah lauk hantaran untuk mertua. Kami pun berkunjung ke rumahnya. Tapi di sana, yang dibahas tetaplah keluarga almarhum istri pertamanya. Katanya, “Itu bapak yang di sana kepalanya bocor disenggol angkot.” Disuruh pula suamiku menelpon kampung.

Kutegaskan ke dia: “Kau urus itu sendiri. Bukankah kita sudah sepakat sebelum nikah, masa lalu jangan kau bawa ke depanku?” Terlihat egois memang, tapi hanya itu benteng terakhirku. Aku hanya sedang melindungi diriku dari luka yang terus-menerus menganga.

Bulan ke-6 pernikahan, dia mulai kerja lagi. Dia minta aku resign, ikut dia ke perantauan. Aku ajukan pengunduran diri. Di hari ke-28 masa pemberhentianku, manajerku bilang surat pengunduran diriku hilang. Disuruh buat baru, disuruh pikir lagi. Tapi aku tetap pergi. Karena aku adalah istri. Meski dalam hati kecilku masih teriak: “Pekerjaanku itu hidupku.”

Tak ada yang menyambut baik kepergianku. Bahkan neneknya berkata, “Kalian dua dapur, banyaklah habis uang.” Padahal dapur ini bahkan belum pernah benar-benar dihidupkan selama enam bulan. Tapi ya sudah. Sampai hari ini, kalau aku masuk dapur, aku ingat kata itu.

Masa kehamilan pun datang. Alhamdulillah, ibuku datang membantu karena aku sakit-sakitan. Mertuaku juga mengirim vitamin dan susu. Tapi tubuhku tak bisa apa-apa. Aku hanya bisa berbaring, muntah darah kalau bergerak sedikit. Rumah diurus suamiku. Baik dia, iya. Karena aku hamil anaknya. Masa dia pulang?

Bulan ke-7 kami pulang ke Kota A. Ada acara 7 bulanan. Mertuaku buat acara di rumahnya, ibuku juga buat sendiri di rumahku. Saat kami hendak kembali ke Kota B, suamiku menyuruhku ambil uang di ATM-nya.
“Pin-nya apa, Bang?”
“06-01-20xx,” jawabnya.

Tanggal pernikahan pertamanya.

Gemeter aku. Lemes aku. Diam aku sampai dia naik bus. Dia pun diam. Di situ aku kehilangan sesuatu. Rasa percaya. Rasa cinta. Aku bukan satu-satunya. Aku hanya pengganti, pemenangnya tetap orang lama.


Image by Pexels from Pixabay