Posted in

Jejak di Halaman Pertama

Jejak di Halaman Pertama
Jejak di Halaman Pertama

Mumpung masih ingat, saya ingin membagikan kisah yang sampai hari ini masih terasa seperti mimpi—aneh, tak terduga, dan penuh makna. Ini cerita tentang buku, tapi bukan sembarang buku. Ini tentang bagaimana halaman-halaman lusuh bisa membawa kita pada kenangan yang hilang, dan pada seseorang yang bahkan belum kita kenal saat membacanya untuk pertama kali.

Saat SMA, saya punya kebiasaan mampir ke lapak buku bekas. Ada sensasi menyenangkan saat menemukan buku-buku lama yang sudah tak dijual di toko, seolah menemukan harta karun yang tersembunyi. Suatu sore, saya menemukan tiga novel Indonesia yang menarik: Ayu dan Ayu karya Eddy Suhendro, dan dua seri Pendekar Bambu karangan V. Lestari. Buku-buku itu tampak bekas, tapi terawat, dan tanpa pikir panjang saya membelinya.

Sesampainya di rumah, saya membuka satu per satu novel itu, dan di halaman pertama masing-masing buku, tertulis dengan tinta biru, “Buku ini milik Elvira Arlani.” Lengkap dengan alamat rumah dan tanda tangan. Nama itu terpatri di benak saya. Entah mengapa, saya membayangkan Elvira sebagai sosok penyuka buku, mungkin seorang guru atau kolektor. Saya sempat bertanya-tanya, mengapa ia menjual koleksi pribadinya?

Waktu berlalu. Saya kuliah di kota lain dan lambat laun lupa akan buku-buku itu. Hingga suatu hari, di tahun kedua kuliah, saya punya teman sekelas bernama Kirana. Kami cukup akrab. Suatu siang, saya datang ke rumahnya untuk mengerjakan tugas kelompok. Tapi ada yang aneh—begitu saya turun dari angkutan dan berdiri di depan rumah Kirana, saya merasa seperti pernah ke sana sebelumnya. Perasaan dejà vu itu begitu kuat, tapi saya tak tahu dari mana datangnya.

Selama di rumah Kirana, perasaan aneh itu tak hilang. Saya mengenali halaman rumah, pagar, bahkan pohon mangga di sudut pekarangan, tapi otak saya tak bisa menjelaskan kenapa. Saya pulang dengan pikiran yang masih kabur, dan selama beberapa hari setelahnya, saya terus mencoba mengingat, dari mana saya mengenal tempat itu?

Sampai akhirnya, saat sedang beres-beres kamar, saya menemukan sebuah kotak lama berisi buku-buku yang tak lagi saya baca. Di antara tumpukan itu, saya mendapati tiga novel lama yang saya beli waktu SMA. Dengan penasaran, saya buka halaman pertamanya. Dan di sana, tertulis lagi: “Buku ini milik Elvira Arlani,” lengkap dengan alamat yang kini saya sadari… adalah alamat rumah Kirana.

Saya tertegun cukup lama. Jantung saya berdebar tak karuan. Saya segera mengecek dua novel lainnya. Alamat yang sama. Nama yang sama.

Keesokan harinya, saya membawa ketiga novel itu ke kampus. Saat kami duduk di taman kampus, saya memperlihatkannya kepada Kirana dan bertanya, “Kenapa ya, alamat rumah kamu bisa ada di buku-buku ini?” Awalnya, Kirana terlihat bingung. Tapi begitu membaca nama “Elvira Arlani”, wajahnya berubah.

Kirana menatap saya dengan mata berkaca-kaca. Suaranya pelan saat menjelaskan, “Itu nama ibu saya. Waktu saya SD, beliau meninggal. Saat saya SMP, ayah menikah lagi, dan semua barang peninggalan ibu dibuang, dijual, atau disumbangkan. Sejak itu saya gak punya lagi barang milik ibu… selain foto lama.”

Saya hanya bisa diam. Dunia seakan berhenti sejenak.

Ketiga buku yang saya temukan secara acak, yang saya anggap hanya koleksi bekas biasa, ternyata adalah bagian dari hidup seseorang—kenangan yang pernah terenggut, dan kini, entah bagaimana, kembali ke orang yang paling berhak memilikinya.

Saya menyerahkan ketiga novel itu pada Kirana. Ia sempat menolak, ingin membayar, tapi saya tak mengizinkan. Saya bilang, “Buku-buku ini bukan milik saya sejak awal. Mereka hanya sedang dalam perjalanan kembali pulang.”

Kirana memeluk buku-buku itu seperti menemukan kembali sesuatu yang hilang dari hatinya. Dan saya, untuk pertama kalinya, benar-benar merasakan betapa sebuah buku bisa menjadi lebih dari sekadar cerita. Ia bisa menjadi jembatan, yang menghubungkan masa lalu dan masa kini—menghubungkan kenangan, kehilangan, dan harapan.


Image by Mymyberries from Pixabay