Posted in

Jika Bisa Kembali ke Masa Itu

Jika Bisa Kembali ke Masa Itu
Jika Bisa Kembali ke Masa Itu

Dulu, waktu masih pacaran, pernah sekali kami bertengkar. Bukan yang besar, hanya salah paham sepele. Tapi sejak itu kami saling diam. Aku pikir, kalau aku menghilang dan gak kasih kabar, dia bakal nyariin aku. Bakal panik atau paling gak, nanyain aku kenapa. Tapi ternyata enggak.

Dia juga diam. Gak ada kabar. Sehari. Dua hari. Seminggu. Sampai sebulan lebih.

Dan saat itu aku mulai mikir, kok bisa ya? Kok bisa kita saling gak cari kabar sampai selama itu? Padahal, waktu itu aku yang akhirnya luluh, aku yang lebih dulu nge-chat nanya, “Kok kamu gak nyariin aku?”

Jawabannya masih terngiang jelas sampai sekarang.

“Ya aku sih ikutin aja. Kalo kamu mau sama aku ya ayo, kalo enggak ya berarti kamu gak mau sama aku.”

Sesederhana itu. Gak ada usaha, gak ada rasa ingin memperjuangkan. Padahal, bukannya seharusnya laki-laki memperjuangkan perempuan yang dia sayang?

Entah kenapa, meskipun logikaku menolak, aku tetap bertahan. Aku minta maaf. Bukan karena aku salah, tapi karena aku gak sanggup kehilangan.

Karena saat itu yang ada di pikiranku cuma satu hal: bagaimana nanti orangtuaku kalau aku gak jadi nikah? Hubungan kami sudah diketahui keluarga. Sudah menyebar ke mana-mana. Mungkin kami bahkan sudah tunangan, aku lupa. Tapi yang aku ingat, aku takut mengecewakan orangtuaku. Takut mereka malu punya anak seperti aku. Jadi, aku lanjutin semua ini, bukan karena cinta, tapi karena beban.

Dan sekarang, setelah semua ini berjalan… hampir setahun aku simpan semuanya sendiri. Diam-diam menanggung luka. Aku mulai sadar, mungkin dulu itu bukan sekadar masalah diam-diaman. Tapi tanda. Tanda kalau aku harusnya berhenti. Harusnya mundur. Tapi aku terlalu takut, terlalu banyak mikirin perasaan semua orang—kecuali diriku sendiri.

Sekarang, yang kupikirkan masih sama: orangtuaku. Kalau pernikahanku gagal, mereka bakal sedih? Malu? Punya anak kayak aku?

Tapi di sisi lain, aku udah terlalu capek terus mikirin semuanya sendirian. Rasanya hampa. Kosong. Aku cuma ingin dimengerti, tapi bahkan aku gak tau harus mulai cerita dari mana. Setiap malam aku berharap bisa balik ke waktu itu. Ke saat aku masih punya pilihan. Ke saat aku masih bisa mundur tanpa beban yang terlalu besar.

Kalau saja aku bisa memilih ulang, aku lebih memilih membuat orangtuaku malu karena aku batal menikah, daripada sekarang melihat mereka sedih karena anaknya gagal mempertahankan rumah tangga.

Karena sejujurnya… aku sudah terlalu lelah.


Photo by Hadija on Unsplash