Posted in

Jodoh Tak Sesederhana Itu

Jodoh Tak Sesederhana Itu
Jodoh Tak Sesederhana Itu

Hari itu, selepas futsal kantor, kami duduk berdua di warung kopi depan gang. Masih berkeringat, dengan aroma kopi dan sisa adrenalin olahraga yang belum sepenuhnya hilang, kami mengobrol santai.

Obrolan kami ringan awalnya. Tentang skor futsal yang nyaris imbang, tentang sepatu baru yang dipakai Dani, sampai akhirnya—entah bagaimana—topik jodoh muncul ke permukaan.

Bukan saya yang memulai. Bukan kebiasaan saya juga bahas urusan pribadi orang lain. Tapi sore itu, dia yang buka suara duluan.

“Zak, pusing aku. Orangtua nyuruh nikah terus,” katanya sambil menyeruput kopinya.

Saya tersenyum. “Kamu belum punya pacar?”

“Gak,” jawabnya pendek.

“Di kantor ini banyak yang jomblo juga, masa gak ada yang menarik buat didekati?”

Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya menghela napas dan menatap kosong ke arah jalan.

“Ada sebenarnya… satu. Tapi dia udah nolak aku dua kali.”

“Wah… siapa tuh?”

Dia menyebutkan namanya. Saya langsung tahu siapa yang dimaksud. Perempuan sederhana dari bagian keuangan. Seorang single mom yang kehilangan suaminya saat pandemi. Sejak itu, ia berubah. Dulu ramah, sering bercanda. Sekarang lebih banyak diam, menjaga jarak dari rekan pria, dan bicara seperlunya.

Tertarik dengan cerita itu, keesokan harinya saya iseng bertanya langsung pada si wanita, dengan gaya yang santai tentu saja. Saya tanya, “Masih muda, ada rencana menikah lagi?”

Dia tersenyum tipis. “Ada, Bang. Tapi belum ada jodohnya.”

Saya coba selidiki sedikit lebih dalam, menyebut nama si kawan.

Dia tertawa kecil. “Bukan nggak mau, Bang. Tapi nggak berani.”

“Lho, kenapa? Dia itu normal, loh. Saya jamin!” kata saya setengah bercanda.

“Justru itu, Bang… Dia terlalu lebih. Lajang, ganteng, mapan. Saya cuma single mom dengan masa lalu. Ngeri saya, Bang. Takut gelap masa depan kalau rasa insecure ikut campur,” ujarnya, masih sambil tersenyum.

Saya terdiam. Dalam hati bergumam: ternyata kelebihan pun bisa menjadi tembok penghalang dalam urusan cinta.

Dia takut tak cukup pantas. Sementara si kawan, tak bisa menolak perasaannya.

Cinta, ternyata, bukan soal siapa lebih baik atau lebih cocok. Kadang cinta adalah tentang rasa aman—dan rasa itu tak selalu hadir meski semua kriteria terpenuhi.

Ah, jodoh memang tak sesederhana itu. Kadang, bahkan pihak ketiga pun tak bisa banyak membantu 😅


Image by Vladimír Elexa from Pixabay