Posted in

Kewajiban yang Terlupakan

Kewajiban yang Terlupakan
Kewajiban yang Terlupakan

Bapaknya temanku, Pak Arman, adalah orang yang dikenal sangat dermawan. Keluarga besarnya menjulukinya “pahlawan tanpa tanda jasa” karena tanpa diminta, ia selalu membantu saudara-saudaranya yang kesulitan. Mulai dari biaya hidup, sekolah, bahkan sampai membiayai kuliah. Salah satu sepupunya, Rina, bahkan dikirim ke luar negeri untuk kuliah kedokteran dengan biaya penuh darinya.

Setiap kumpul keluarga, Pak Arman selalu dielu-elukan. “Kamu memang tulang punggung keluarga!” ujar salah satu saudaranya sambil tersenyum manis. Tapi, di balik senyum itu, sepertinya ada sesuatu yang mengendap—sebuah ekspektasi bahwa bantuan Pak Arman adalah sesuatu yang wajib, bukan lagi sebuah kebaikan hati.

Hingga suatu hari, badai menghantam. Bisnis Pak Arman bangkrut karena penipuan mitra kerjanya. Hartanya habis, asetnya disita. Dengan berat hati, ia mengumpulkan seluruh keluarganya dan menjelaskan keadaannya.

“Aku tidak bisa lagi membiayai kalian. Mohon maaf, tapi untuk sementara, kalian harus berjuang mandiri,” ujarnya dengan suara lirih.

Reaksi mereka? Bukan dukungan. Bukan ucapan terima kasih atas segala bantuan selama ini.

Malah, mereka marah.

“Gimana ini?! Anakku bisa putus kuliah gegara lu!” teriak salah satu saudaranya, wajahnya merah padam.

“Kami sudah rencanakan masa depan berdasarkan bantuanmu, sekarang tiba-tiba berhenti? Tidak bertanggung jawab!” sambung yang lain.

Pak Arman hanya terdiam, hancur. Di saat senang, mereka semua datang, tertawa bersama. Tapi di saat sedih, ia harus menghadapi semuanya sendirian.

Akhirnya, ia pun belajar sebuah pelajaran pahit: “Bantu orang seperlunya, jangan sampai kebaikanmu dianggap kewajiban.”

Dan keluarga yang dulu selalu tersenyum manis di depannya? Kini mereka bahkan tak mau menjawab teleponnya.

Sedih, tapi nyata. 🗿


Photo by Brian Patrick Tagalog on Unsplash