Posted in

Kumbang dan Sebotol Air Mineral

Kumbang dan Sebotol Air Mineral
Kumbang dan Sebotol Air Mineral

Dulu, saat aku masih tinggal di Konoha, aku punya seorang teman — sebut saja namanya Kumbang. Sosok yang kalau dilihat dari luar, benar-benar idaman bagi perempuan yang terinspirasi hidup ala-ala media sosial: semua gaji diserahkan ke istri, katanya tanda cinta dan tanggung jawab 100 persen.

Prinsipnya memang terdengar mulia. Tapi realita berkata lain.

Suatu hari, kami ada janji kerja bareng. Tapi mendadak Kumbang mengeluh, “Gak bisa jalan nih, bensin mobil habis. Kalau mau, jemput aja ke rumah.”
Aku cuma bisa geleng-geleng kepala. Ini kerjaan lho, bukan piknik.

Yang unik dari Kumbang, ke mana pun dia pergi selalu bawa air mineral sendiri. “Demi kesehatan,” katanya.
Tapi kadang aku berpikir, itu air mineral bukan cuma karena sehat, tapi karena memang gak punya uang buat beli minum lain.

Satu hari, kami lagi rame-rame kerja dan udah masuk jam makan siang. Gak enak dong rasanya gak ngajak Kumbang ikut makan.

“Ayo makan sekalian, saya traktir. Ini udah siang,” ajakku.
Tanpa pikir panjang, Kumbang langsung gercep. Ternyata dia lapar.

Katanya, dia gak nyangka kerjaannya molor. Harusnya sih selesai lebih cepat, biar bisa pulang makan. Tapi karena gak punya uang, ya dia nunggu kerjaan kelar dulu baru pulang.
Aku cuma bisa bilang, “Kita ini orang lapangan, mana bisa prediksi kerjaan selesai jam berapa?!”

Pernah juga, saat kami kebagian tugas bareng, aku bagi-bagi tugas biar cepat selesai. Tiba-tiba Kumbang bilang, “Aku gak punya uang buat jalan. Kirim aku uang dong.”

Lho? Bukannya sebelumnya udah aku kasih uang jalan?

“Iya, tapi uangnya udah aku kasih ke istriku semua,” jawabnya polos.

Aku tarik napas panjang.

“Mbang, aku tau kamu sayang istri, tapi kamu juga harus rasional. Masa uang jalan diserahin semua? Gimana kamu mau kerja kalau gak pegang uang sepeser pun?”
Dia cuma tertunduk.

Aku lanjut, “Sesayang apapun sama istri, suami tetap harus punya pegangan. Minimal buat beli BBM, kuota, bayar parkir, makan. Aku gak selalu bawa uang tunai, gak bisa terus-terusan kasih kamu juga.”

Kumbang jawab, “Kebutuhan rumah tangga banyak. Biar istri aja yang kelola semua uang, daripada aku pusing dengar dia ngomel-ngomel.”

Aku paham. Tapi tetap saja, itu bukan solusi.

“Betul, kamu gak pusing. Tapi kami yang jadi gak enak. Saat kita makan, biasa gantian traktir. Masa kamu duduk di pojokan cuma minum air mineral? Hari ini ikut makan, besok juga. Masa kami terus yang bayarin? Sesekali okey lah, tapi kalau tiap hari?”

Kumbang hanya menjawab lirih, “Mau gimana lagi. Aku juga bingung…”

Aku bilang, “Pilihan tetap di kamu. Aku dan yang lain, yang penting kerjaan selesai. Uangku, ya kubagi. Tapi kamu… uang yang kamu pegang saja gak ada.”

Kumbang cuma tersenyum, “Iya, gak papa. Aku selalu bawa mineral, kok.”


Akhir kata, hidup memang pilihan. Tapi jika boleh memberi nasihat: wahai para istri, kalau pun seluruh penghasilan suami kalian kelola, setidaknya beri mereka sedikit harga diri. Uang saku untuk bensin, makan, atau sekadar segelas kopi.

Jangan sampai, saat teman-temannya makan, suami kalian hanya duduk di pojokan memeluk botol air mineral, menanti jam pulang, dengan perut kosong dan kepala pening.

Bukan karena dia tak mau, tapi karena tak punya.

Cerita ini bukan menghakimi. Hanya sedikit potret tentang derita laki-laki yang tak punya keuangan pribadi. Mau diterima atau tidak, inilah kenyataan.

Ambillah pelajaran, bukan penghakiman.


Image by Alexa from Pixabay