Posted in

Lemari yang Tak Pernah Sama Lagi

Lemari yang Tak Pernah Sama Lagi
Lemari yang Tak Pernah Sama Lagi

Sudah tiga tahun berlalu sejak pernikahan Rio, adik semata wayangku. Tapi rasanya seperti baru kemarin kami sekeluarga sibuk menyiapkan segalanya — baju pengantin, tenda, makanan, bahkan dana pun semua dari kantong keluarga kami. Saat itu aku hanya ingin melihat ibu bahagia, meskipun samar-samar ada sesuatu yang tertahan di matanya.

“Dia sudah cinta, katanya…” begitu cerita Tante Rini padaku, beberapa bulan setelah ibu tiada. Ternyata, ibu sempat ragu memberi restu pada Rani, pacar Rio waktu itu. “Katanya kasihan, anak orang tidak mampu,” lanjut tanteku lirih. Ah, andai aku tahu lebih cepat…

Waktu hari H, segalanya serba cepat. Sudah fitting baju, sudah rapi. Tapi begitu besan laki-laki datang, bajunya… kekecilan. Padahal saat fitting ukurannya sama. Akhirnya, ayah hanya pakai jas hitam biasa. Ibu? Sudah murung dari pagi, merasa serasi pun tidak di pelaminan anaknya sendiri.

Aku sendiri tinggal jauh, beda pulau. Tapi ibu selalu sempatkan video call hampir setiap hari, katanya kangen cucu. Tapi di balik layar, kadang ia bercerita. Cerita yang ringan, kadang juga tak enak di hati. Seperti hari saat ibu masak besar, dan Rani tiba-tiba membawa makanan itu ke rumah orang tuanya. Jarak cuma sepuluh menit, tapi ibu kaget. Bukan karena tak ikhlas — tapi masakannya belum dihangatkan. “Takut basi,” katanya pelan. Rani malah menangis. Sejak itu, ibu jadi makin diam.

Pernah juga hujan deras mengguyur kampung. Jemuran ibu masih di luar. Kupikir, pasti ada yang bantu angkat. Tapi ternyata tidak. Tak ada yang peduli. Sejak ibu menikahkan Rio, rumah itu tak lagi sama.

Dua tahun lalu, ibu meninggal. Bukan karena sakit. Ia pergi dalam tidurnya. Tanpa tanda. Tanpa pamit. Umur pernikahan Rio baru satu setengah tahun waktu itu.

Lalu datanglah peringatan dari Tante Rini — pesan yang membuatku terdiam. “Jangan bongkar lemari ibumu. Tunggu kakakmu pulang.” Tapi Rani? Entah mengapa, ia sudah duluan membuka lemari itu. Dan saat aku akhirnya pulang — enam bulan kemudian — lemari itu seperti bukan milik ibu lagi. Baju-baju yang dulu kubelikan, jilbab indah yang masih utuh, mukena yang sering kupilihkan… hilang. Semua sudah raib.

Pernah kulihat Rani memakai baju yang dulu kubelikan untuk ibu. Aku diam. Mungkin ia pinjam, pikirku. Tapi ternyata, semuanya memang sudah dia ambil. Bukan soal harga. Bukan soal tak mampu membeli lagi. Tapi rasa. Rasa sopan. Rasa hormat. Bukankah aku anak kandungnya?

Kemarin, saat Idul Adha, aku video call ayah. Di kasur, ayah terbaring. Rio juga tidur di sebelahnya. Lalu, dengan santainya Rani naik ke atas kasur. Berdiri. Di atas tubuh ayah yang tua itu. Aku terdiam di layar, antara marah, bingung, dan sedih. Ini… sopan?

Aku ingin bicara pada Rio. Tapi… apakah ia bisa menerima? Setelah ibu pergi, banyak saudara menjauh dari Rani. Aku dulu membelanya, karena tak tahu. Kini, setelah tinggal dua minggu di rumah, aku tahu semuanya. Sifat. Sikap. Hati.

Ayah tahu, tapi mungkin karena lelaki — responnya hanya, “Masih kekanak-kanakan.”
Tapi… sampai kapan?

Aku masih menimbang. Masih menahan. Tapi luka itu makin dalam.


Photo by Rumman Amin on Unsplash