Posted in

Match yang Salah

Match yang Salah
Match yang Salah

Usia makin bertambah, sedangkan tanda-tanda kehadiran pasangan hidup belum juga terlihat. Itulah yang dirasakan Damar, seorang pria dengan kehidupan yang cukup stabil, tapi terlalu sepi. Tekanan dari keluarga dan diri sendiri mulai terasa nyata, terlebih lingkungan sekitarnya tak memberikan ruang untuk bertemu perempuan baru—apalagi untuk tujuan serius.

Lingkungan kerjanya? Nyaris steril dari keberadaan wanita. Kalaupun ada, itu pun sudah berstatus atau sekadar rekan kerja formal. Lingkungan pergaulannya? Jauh dari peluang romansa. Hanya beberapa teman lama, mayoritas laki-laki, dan perempuan yang ada pun sudah seperti keluarga sendiri.

Akhirnya, pilihan itu datang seperti dorongan kecil dari semesta. Tinder. Aplikasi yang sebelumnya dianggap “bukan gue banget”, kini terasa seperti satu-satunya jalan logis.

“Aku cuma pengin kenalan sama cewek yang juga pengin kenalan sama cowok,” gumam Damar saat jempolnya menggeser layar ponsel, memasang profil, dan mulai swipe right.

Hari demi hari berlalu. Beberapa perkenalan berlangsung, beberapa menghilang tanpa jejak. Sampai suatu saat, ada satu akun yang berbeda. “Putri, 28 tahun.” Foto-fotonya manis, tampak modis, dan obrolannya pun seru. Ada kecocokan. Tidak terlalu cepat, tapi cukup nyaman. Setelah tiga hari bertukar cerita, mereka sepakat bertemu.

Selasa malam, pukul delapan. Damar menempuh perjalanan hampir satu jam untuk menjemput “Putri”. Ia tiba di gang kecil tempat yang disebutkan. Tak lama, seseorang muncul dari ujung gang, berjalan mendekat dengan langkah sedikit canggung. Damar menajamkan pandangan—tinggi, besar, kulit agak gelap, rambut panjang.

Saat kaca mobil diketuk, Damar sedikit ragu, tapi tetap membukakan pintu. Mereka saling berjabat tangan.

“Aku Putri.”

“Damar.”

Setelah duduk, suasana mendadak senyap. Damar menatap lurus ke kaca depan, pikirannya kabur. Hatinya menolak menerima realita, tapi seluruh instingnya berteriak: “Ada yang gak beres!”

Setelah beberapa detik hening yang terasa seperti selamanya, Damar akhirnya menoleh.
“Rumah kamu yang itu?” tanyanya mencoba berbasa-basi.
“Iya, bener yang itu,” jawabnya sambil menunjuk dengan gaya genit. Tapi suara itu… terlalu berat. Terlalu… dipaksakan terdengar feminin.

Damar menelan ludah, lalu berkata dengan nada hampir berbisik, “Maaf banget… kamu… cewek atau cowok?”

Putri tersenyum. “Ya aku cewek lah. Emangnya keliatan kayak cowok?”

Itu bukan jawaban, pikir Damar. Itu pengelakan.

“Please, jujur. Aku bisa bedain, kok. Dari cara kamu bicara… cara berjabat tangan… maaf, tapi keliatan banget kamu bukan cewek.”

Putri menghela napas. “Kamu straight ya?”

“Iya. Aku bukan gay. Aku suka cewek. Please, jangan paksa aku berpura-pura.”

“Terus gimana aku buktiin kalo aku cewek?”

“Aku gak perlu bukti. Aku cuma… gak bisa. Maaf. Bisa… turun sekarang?”

Putri menatapnya lama, lalu mengangkat alis. “Loh, kamu udah jauh-jauh loh ke sini. Masa gak jadi?”

“Aku serius. Turun sekarang. Maaf banget.” Nada Damar meninggi. Ia melirik pos ronda yang tak jauh dari sana. Jaga-jaga kalau terjadi sesuatu, setidaknya ada orang lain yang bisa menolong.

Putri mendengus kesal, membuka pintu, dan sebelum pergi berkata dengan suara asli yang akhirnya keluar begitu saja—suara cowok yang berat dan dalam, “Yaudah, bye!”

Damar terdiam beberapa detik sebelum buru-buru tancap gas menjauh dari gang itu. Jantungnya masih berdetak kencang, antara syok dan lega.

“Ya Allah… mimpi apa aku semalam sampai ketemu waria beneran dari Tinder…”

Sejak hari itu, Damar lebih hati-hati. Dan mungkin… butuh waktu lebih lama untuk mempercayai profil-profil manis yang muncul dari layar ponsel.


Image by Dee from Pixabay