Posted in

Niat Baik dan Batasan

Niat Baik dan Batasan
Niat Baik dan Batasan

Sudah sekitar tiga minggu ini aku punya tetangga kos baru. Pasangan muda, usianya mungkin di awal dua puluhan, dengan satu anak balita yang belum genap dua tahun. Kamar mereka tepat di depan kamarku. Si suami bekerja sebagai tukang bangunan, sedangkan istrinya ibu rumah tangga. Sejak awal mereka pindah, kami hanya sebatas saling sapa dan senyum saat kebetulan berpapasan di dapur. Tak pernah ngobrol panjang. Tapi dari kesan pertama, mereka terlihat cukup sopan.

Beberapa hari yang lalu, aku sempat beberapa kali masak dalam porsi lebih. Dan entah dorongan apa, setiap selesai masak, aku membagi sedikit makanan untuk mereka—terutama untuk sang ibu dan anaknya. Jujur saja, bukan untuk pamer atau merasa lebih, tapi ada sesuatu yang bikin aku iba. Hampir tiap hari si istri hanya berdiam di kamar bersama anaknya. Jarang sekali terlihat makan. Suaminya pergi kerja dari pagi sampai sore. Aku kasihan.

Hari pertama aku memberikan makanan, aku sempat tanya, “Sudah makan belum?” Dan dia menjawab belum. Waktu aku kasih nasi pecel, dia senang sekali. Bahkan sempat menangis. Itu momen yang cukup bikin hati aku campur aduk. Tiga hari berturut-turut aku kirimkan makanan. Dalam hati, aku sempat berpikir: mungkin mereka memang sedang kesulitan keuangan. Mungkin suaminya belum gajian.

Tapi entah kenapa, sejak malam minggu lalu, perasaanku jadi berubah.

Malam itu, tiba-tiba dia mengetuk pintu kamarku. Aku kira ada sesuatu yang darurat. Tapi ternyata dia bilang, “Mbak, minjem motor, ya?” Aku sempat bengong. Kaget. Refleks aku jawab nggak bisa, dengan alasan ini-itu. Lalu aku tanya, “Mau ke mana?” Dia jawab, “Ke supermarket.” Padahal supermarket itu dekat sekali, jalan kaki lima menit pun sampai. Selama ini mereka juga ke sana dengan jalan kaki. Kenapa sekarang tiba-tiba ingin naik motor?

Sejak kejadian itu, terus terang aku jadi agak ilfeel. Bukannya apa-apa, tapi aku merasa ada garis batas yang mereka langgar. Aku baru mengenal mereka, tak pernah akrab, tapi aku sudah coba berbuat baik. Lalu tiba-tiba mereka merasa cukup dekat untuk meminjam motor—kendaraan pribadiku yang bahkan teman lama pun kadang sungkan untuk pinjam.

Dalam pikiranku saat itu, apakah suaminya yang menyuruh istrinya? Karena aku yakin dia ada di kamar dan bisa mendengar semua percakapan kami. Kenapa bukan dia sendiri yang mengetuk pintu jika memang butuh? Kenapa harus menyuruh istrinya yang sudah aku bantu selama ini?

Aku nggak habis pikir. Hidup untuk makan saja terlihat sulit, tapi mereka berani minjam motor orang lain untuk hal yang nggak mendesak. Bagaimana jika di jalan terjadi sesuatu? Motor lecet, disenggol, bahkan kecelakaan. Siapa yang tanggung jawab? Apa nggak kepikiran sejauh itu?

Maaf, ini bukan soal pelit atau hitung-hitungan. Aku pun hidup sederhana, dan sangat paham rasanya susah. Tapi justru karena itu, aku tahu rasanya menjaga diri agar tidak merepotkan orang lain. Kalau aku di posisi mereka, jangankan minjam motor, untuk sekadar nerima bantuan makanan pun rasanya sudah sungkan luar biasa.

Menurutku, saat seseorang sudah berbuat baik, kita seharusnya makin tahu diri. Takut mengecewakan, takut merepotkan, takut melukai perasaan yang udah bersedia bantu. Karena kebaikan itu nggak bisa ditagih, dan kalau kita kelewat batas, bisa-bisa kebaikan itu tertutup selamanya.

Aku belajar satu hal dari pengalaman ini: Niat baik tetap harus punya batas, dan rasa segan tetap harus dipelihara. Karena kadang yang bikin orang berhenti berbuat baik bukan karena mereka berubah, tapi karena orang lain terlalu lancang menuntut lebih dari yang layak.


Photo by Tchelo Veiga on Unsplash