Posted in

Pelajaran dari Dua Dekade

Pelajaran dari Dua Dekade
Pelajaran dari Dua Dekade

Namaku Raras. Aku pernah percaya, cinta yang dijalani dengan kesabaran dan pengorbanan akan berbuah keabadian. Dua puluh dua tahun aku menikah dengan seorang pria yang dulu kupikir adalah rumah. Tapi aku salah.

Dulu aku tak pernah mempermasalahkan gajiku yang hampir dua pertiga habis untuk operasional rumah tangga. Suamiku bekerja juga, tapi aku tetap mau menanggung beban itu. Karena aku percaya, pernikahan bukan tentang siapa memberi lebih banyak, tapi tentang saling.

Gajinya? Tak masalah untukku saat dia memilih mengirimkannya ke orang tuanya, atau membeli barang-barang hobinya. Aku pikir, lelaki juga berhak menikmati hasil keringatnya.

Aku tak pernah memaksanya membeli rumah atas nama kami. Dia bilang rumah warisan akan jatuh ke tangannya kelak, dan aku… percaya saja. Bahkan surat-surat rumah itu tak pernah kami urus secara resmi. Lagi-lagi karena aku pikir, cinta butuh kepercayaan.

Untuk urusan anak, sekolah, makan, rumah, hingga perintilan make-up untuk acara kantor, semua aku tangani sendiri. Aku hanya memberi laporan. Dalam hatiku, biarlah dia fokus bekerja. Bukankah itu tanggung jawab laki-laki?

Dan apa balasan dari semua “gapapa” yang aku berikan?

Ternyata, setiap kali dia bilang tugas ke luar kota, yang dia lakukan adalah memesan perempuan dari aplikasi. Beberapa anak gadis manja silih berganti memanggilnya “sayang” di belakangku. Sampai akhirnya, anakku sendiri yang memergokinya sedang mesra dengan seorang perempuan di hotel.

Tak cukup di situ. Aku bahkan sempat diteror oleh orang tak dikenal dari aplikasi-aplikasi kotor itu. Ancaman, permintaan uang, fitnah. Semuanya datang dari kehidupan gelap yang selama ini dia sembunyikan.

Aku gugat cerai. Dia merengek, menangis, memohon. Tapi aku sudah tak punya ruang untuk empati. Tiga bulan setelah resmi bercerai, dia memajang foto bersama seorang janda anak tiga, mantan DJ dan instruktur zumba, sekarang punya salon dan kantin. Caption-nya berbunyi: “Akhirnya, cinta yang kutunggu datang juga.”

Aku tersenyum kecil. Bukan karena cemburu. Tapi karena syukur. Di titik itu aku sadar, Allah tak pernah meninggalkanku. Dia hanya sedang menyelamatkanku perlahan. Kalau bukan karena skandal-skandal itu terbongkar, mungkin aku masih saja hidup dalam sangkar ilusi bernama sabar.

Sekarang, aku sedang membangun ulang hidupku. Bukan untuk membalas dendam, tapi untuk menghargai diri sendiri. Ternyata, ketika seorang perempuan berkata, “Aku gapapa,” itu seringkali adalah jeritan kecil yang lama-lama bisa membakar habis jiwanya.

Aku bukan korban. Aku penyintas. Dan dari reruntuhan dua dekade yang hancur itu, aku bangkit — dengan kepala tegak dan hati yang baru.


Photo by Ante Gudelj on Unsplash