Posted in

Peluk Aku Dalam Luka

Peluk Aku Dalam Luka
Peluk Aku Dalam Luka

Namaku Aniya.
Aku seorang janda—bukan karena perceraian, tapi karena takdir.
Suamiku meninggal setahun setelah kami menikah, dan sejak saat itu, hidupku seperti terbangun di kamar kosong tanpa jendela: sunyi, lembap, dan tanpa arah.

Aku mencoba bertahan. Tapi kesepian punya cara licik untuk menyusup ke hati—perlahan, diam-diam, lalu mencengkeram.

Malam itu, aku mengunduh sebuah aplikasi kencan. Iseng, pikirku. Tak ada salahnya berbagi tawa dengan orang asing. Lalu muncullah dia—Raka, pria yang katanya duda tanpa anak. Ia bicara tentang kerinduannya memiliki keturunan, tentang ibunya yang menua tanpa cucu. Kata-katanya terdengar manis, penuh harapan, seperti langit jingga yang menjanjikan malam yang indah.

Tak lama, Raka mengajakku bertemu. Ia tengah bekerja di Bali, namun datang menemuiku di Surabaya. Jujur, aku gugup. Tapi ketika melihat senyum dan tatap matanya yang meyakinkan, aku membuka pintu kepercayaanku sedikit lebih lebar.

Namun sejak awal, dia sudah menunjukkan wajah aslinya.
Tak banyak basa-basi, ia bicara tentang hal-hal intim. Tentang kamar, tentang tubuh, tentang… hubungan.
Aku menolak tanpa marah. Tapi dia memaksa. Aku setuju, dengan satu syarat: pakai pengaman.
Dia menolak.

Aku bodoh. Aku lemah.
Dan malam itu, aku menyerahkan diriku.

Setelahnya, Raka pergi begitu saja. Hilang tanpa kabar.
Seminggu kemudian, ia muncul kembali—kali ini bukan untuk menyapaku, tapi untuk meminta uang. Katanya untuk proyek.
Aku, yang sedang buta karena rasa “dianggap berharga”, mentransfer uang simpananku sedikit demi sedikit. Tak terasa, semuanya habis.

Sebulan kemudian, ia datang lagi. Kali ini membawa hasrat yang sama: tubuhku.
Dan sekali lagi, aku mengabaikan rasa takut, rasa was-was.
Aku lupa bahwa saat itu masa suburku.

Esoknya, Raka pergi. Seperti biasa.

Sebulan berlalu. Haidku tak kunjung datang.
Kupikir hanya stres. Tapi ketika kupandangi dua garis merah di testpack, hatiku seperti ditimpa batu besar.
Aku hamil.


Kabar itu kuceritakan pada Raka. Reaksinya mengejutkanku. Ia senang, katanya.
Ia berjanji akan menikahiku, membesarkan anak ini bersama. Tapi setelahnya… ia tak pernah lagi benar-benar hadir.

Ia terus minta uang. Tak pernah datang dengan kasih sayang. Tak pernah datang menepati janji.
Dan ketika kami akhirnya bertemu, ia meminjam sepeda dan ponselku.
Dia pergi dan tidak kembali.

Empat hari kemudian, ia memberitahu: sepeda itu digadai, ponselku dijual.
Hatiku ambruk.
Aku blokir semua aksesnya. Aku hancurkan jejaknya.

Tapi luka yang ia tinggal, terlalu dalam.


Kehamilanku membesar. Aku tak bisa lagi menyembunyikannya dari orang rumah.
Tapi aku tak sanggup jujur.
Jadi, aku kabur.

Kukemasi baju-bajuku. Berpura-pura pergi kerja seperti biasa. Tapi siang itu, aku tak kembali ke kantor.
Aku pergi ke kos yang sebelumnya kusiapkan. Dan dari sana, aku pamit lewat pesan WA pada orang tuaku.

Aku mengganti semua akun, memutus semua koneksi.
Meninggalkan pekerjaan, keluarga, teman.
Tinggal aku dan bayi ini.

Sendiri.


Photo by Alicia Petresc on Unsplash