Posted in

Pelukan Terakhir di Jalan Jakarta

Pelukan Terakhir di Jalan Jakarta
Pelukan Terakhir di Jalan Jakarta

Namaku Alya. Dan ini cerita tentang seseorang yang pernah jadi rumah, pelindung, dan sumber kekuatanku — Revan.

Tiga tahun lamanya aku menjalin hubungan dengannya. Tiga tahun penuh cinta yang tak perlu diminta, perhatian yang tak harus dicari, dan kesetiaan yang tak tergoyahkan. Revan bukan pria sempurna, tapi bagiku, dia nyaris tak bercela.

Ia bukan anak konglomerat, tak punya akun media sosial, dan hidupnya sederhana — tapi ia penuh kehangatan. Revan adalah pekerja keras. Ia tak pernah mengeluh, apalagi meminta. Bahkan untuk membahagiakanku, dia bekerja lebih keras, berusaha tanpa harus membuatku merasa berhutang. Setiap kali aku ingin sesuatu, dia akan hadir lebih dulu dengan jawaban yang tak pernah kuucapkan.

Sebagai anak dari keluarga yang retak, aku tumbuh dalam keraguan. Aku tak tahu rasanya dicintai tanpa syarat—hingga Revan hadir.

Dia bukan cuma kekasih, dia adalah pelindungku, terutama saat aku merantau ke Jakarta. Bayangkan, seorang pria dari Jawa Tengah, rela mengantarku pulang ke Banten naik motor — 8 jam perjalanan, lalu kembali sendiri. Hujan, panas, macet, semuanya diterjang. Demi aku. Demi perempuan yang ia cintai.

Saat kami harus LDR, tidak sedikit pun cinta itu pudar. Ia tetap setia, tetap sabar. Semua keputusan hidup penting selalu ia libatkan aku. Dia tak ingin aku jadi penonton, ia ingin aku jadi bagian dari masa depannya.

Tapi nasib, sepertinya, punya rencana lain.

Keluarganya tak merestui hubungan kami. Alasannya? Aku orang Sunda, dia Jawa. Katanya, adat dan kepercayaan tak cocok. Aku terima itu dengan perih yang tak bisa dijelaskan. Tapi kami bertahan, karena yakin cinta bisa menembus apa saja. Kami salah.

Revan akhirnya menyerah—bukan karena dia tak cinta, tapi karena dia tak mampu melawan darah dagingnya sendiri. Hari ia pamit, ia menunduk, suaranya bergetar. Aku tahu, dia terluka. Tapi dia tetap pergi.

Sejak itu, hari-hariku kosong.

Aku kembali ke rumah. Jakarta terlalu penuh kenangan. Terlalu sesak oleh bayangan dia. Bahkan suara klakson dan aroma kopi bisa membuat dadaku sesak. Tidak ada notifikasi darinya. Tidak ada suara lembutnya menenangkan malamku. Tidak ada Revan.

Aku jatuh. Dalam. Tapi keluarga dan sahabatku diam-diam menjaga. Mereka tak menasihatiku, mereka hanya ada. Diam yang penuh makna.

Lima bulan kemudian, ponselku berbunyi. Nama yang tak pernah kulihat sejak lama muncul kembali. Revan.

Kami bicara. Kami menangis. Tapi kami tidak kembali.

Kami bertemu — untuk terakhir kalinya. Makan malam di tempat kenangan. Bicara seperti dulu. Tertawa seperti dulu. Tapi ada jarak. Ada luka.

Saat ponselnya berdering, aku menoleh. Nama perempuan dengan emoji hati muncul di layar. Revan hanya menatap sebentar, lalu menolaknya. Tapi aku tahu… aku bukan siapa-siapa lagi.

Dengan suara pelan, ia mengaku — perempuan itu adalah jodoh pilihan keluarganya. Ia sedang mencoba mengenal, mencoba mencintai. Tapi hatinya belum sampai.

Aku memeluknya di atas motor, sepanjang perjalanan pulang. Diam-diam aku menangis di balik punggung yang dulu jadi tempat pulang. Aku tahu, itu pelukan terakhir.

Setahun kemudian, dia menikah.

Lima tahun berlalu. Kabar terakhir yang kudengar, ia telah memiliki seorang anak perempuan. Dan aku… masih belum punya keberanian untuk memulai lagi.

Hingga hari ini.

Hari ini aku mendengar kabar bahwa Revan telah tiada. Ia meninggal pagi tadi. Dunia terasa hening. Meski kami tak lagi bersama, rasanya seperti kehilangan lagi — untuk kedua kalinya. Tapi kali ini, selamanya.

Aku menulis ini bukan untuk membuka luka, tapi untuk mengenang Revan. Lelaki yang pernah membuatku merasa layak dicintai. Lelaki yang pernah ku peluk erat di balik gemerlap lampu Jakarta.

Semoga engkau tenang di sana, Revan.

Dan semoga pelukan terakhir kita… cukup untuk menutup luka yang belum sempat sembuh.

🕊️🤍 Aamiin.


Photo by Marco Bianchetti on Unsplash