Posted in

Pelukan yang Tak Pernah Aku Inginkan

Pelukan yang Tak Pernah Aku Inginkan
Pelukan yang Tak Pernah Aku Inginkan

Tahun 2019, aku bekerja di sebuah tempat wisata yang sedang dirintis di daerahku. Posisiku sebagai penjaga loket membuatku cukup dikenal karena aku hampir selalu ada di sana. Penampilanku sederhana, jauh dari dandanan mencolok. Aku mengenakan gamis dan hijab panjang setiap hari, menjaga jarak dari lawan jenis, bahkan berusaha menghindari sentuhan fisik sebisa mungkin.

Di antara sedikit karyawan yang ada saat itu, ada seorang satpam yang kelihatannya tertarik padaku. Tapi aku tak pernah menanggapinya serius. Aku pikir itu cuma candaan. Aku bukan tipe perempuan yang gampang percaya, apalagi jatuh hati.

Suatu hari, sepasang suami istri datang sebagai pengunjung. Mereka jualan pempek, khas Palembang. Setelah ngobrol dengan pengelola, mereka menawarkan kerja sama: titip pempek untuk dijual di area wisata. Pengelola setuju. Kami sepakat mereka akan mengirim 100 bungkus setiap hari.

Kebetulan, rumah mereka searah dengan jalur berangkat kerjaku. Jadilah aku yang rutin mengambil pesanan pempek tiap pagi. Awalnya semua berjalan lancar. Tapi beberapa bulan kemudian, sesuatu yang aneh mulai terjadi.

Satu pagi, aku diberi tahu oleh pengelola untuk santai saja ambil pempeknya, katanya ada yang ingin dibicarakan. Aku nurut saja, tak berpikir macam-macam.

Sampai di rumah penjual itu, setelah selesai membungkus, tiba-tiba si laki-lakinya—suami dari penjual—mengajakku bicara sendiri di kamar. Ia bilang, ada yang “negatif” dalam auraku. Katanya aku kurang kasih sayang, kurang perhatian dari sosok ayah, dan itu sebabnya aku ‘aneh’ dan ‘dingin’ terhadap pria.

Kamar itu penuh dengan benda-benda mistis. Keris, dupa, benda pusaka. Aku mulai merasa tak nyaman. Tapi aku tetap duduk, karena waktu itu aku belum sepenuhnya sadar niat buruknya.

Dia bilang aku harus dipulihkan. Aku disuruh memeluk dia.

Dalam kondisi bingung, aku turuti. Tapi saat pelukan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar pelukan, saat aku menyadari posisiku yang sudah di atas badannya, aku langsung panik. Aku sadar ada yang salah. Otakku kacau. Hati dan tubuhku menolak.

Aku segera bangkit dan lari keluar kamar, tanpa pamit. Tak peduli istri dan anaknya yang ada di ruangan sebelah. Aku ambil pempek dan keluar. Di perjalanan menuju tempat kerja, aku menangis sejadi-jadinya.

Aku merasa ternodai. Bukan karena tubuhku disentuh, tapi karena kepercayaanku disalahgunakan. Karena luka batin yang ditusuk tanpa permisi.

Keesokan harinya aku menolak mengambil pesanan pempek lagi. Mereka malah mengantar sendiri ke lokasi, dan masih sempat bertanya kenapa aku menghindar. Aku tak sanggup jawab. Aku hanya bisa menangis, bersembunyi di dapur.

Pengelola akhirnya tahu aku terguncang. Mereka minta maaf berkali-kali, walau tidak tahu kejadian sebenarnya. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi melihat laki-laki tua itu. Dan semoga selamanya tidak.

Trauma itu masih membekas. Tapi aku bersyukur, aku masih sempat sadar. Masih bisa lari. Masih bisa menyelamatkan diriku.

Aku berbagi ini bukan untuk membuka luka, tapi supaya perempuan lain tahu—jika sesuatu terasa salah, ikuti instingmu. Jangan takut melawan. Jangan diam, walau tubuhmu gemetar.

Karena terkadang, yang menyakitkan bukan hanya sentuhan, tapi juga kepercayaan yang dilukai.


Photo by Frames For Your Heart on Unsplash