Posted in

Penjara Bernama Cinta

Penjara Bernama Cinta
Penjara Bernama Cinta

Bagian 1: Keberangkatan

Namaku Rana. Tahun 2022 adalah titik awal hidupku berubah. Dari kecil aku selalu berada di zona nyaman—keluarga, teman, dan kota kecil yang akrab. Tapi hari itu, aku memutuskan sesuatu yang besar: meninggalkan semuanya dan pindah ke Jakarta untuk bekerja di sebuah restoran.

Dari luar, hidupku tampak normal. Gaji cukup, kerjaan stabil. Tapi hidup kadang punya cara aneh untuk mempermainkan arah. Aku kenal Elan, seorang pria yang awalnya seperti teman biasa. Pendiam, sedikit misterius. Aku pikir, dia hanya butuh waktu untuk terbuka.

Ternyata bukan itu.


Bagian 2: Luka yang Terbungkus Sayang

Hubungan kami tumbuh dengan cara yang aneh: cepat tapi kabur. Elan sering meledak karena hal-hal kecil. Kadang berteriak. Kadang mendorong. Tapi anehnya, setelah semua itu, dia sujud, menangis, mencium kakiku—secara harfiah.

“Maafin aku, Rana… Aku cuma takut kehilangan kamu.”

Dan aku? Aku luluh. Selalu begitu.

Aku percaya, cinta bisa menyembuhkan. Aku pikir, kalau aku cukup sabar, dia akan berubah.

Tapi tidak. Yang terjadi justru sebaliknya: aku kehilangan diriku sendiri.

Dia mengatur segalanya. Aku tak boleh pulang sendiri. Tak boleh nongkrong. Bahkan berangkat kerja pun harus bersama dia. Rasanya seperti hidup dalam kurungan. Tapi aku diam.

Setiap kali aku melawan, dia mengamuk. Meneriaki aku. Kadang memukul meja. Kadang… lebih dari itu.

Dan karena aku takut—bukan takut dipukul, tapi takut ditinggal—aku sering memilih untuk pergi duluan. Tapi tiap kali aku mengucapkan kata “putus”, dia menangis, memohon, dan sekali lagi, aku luluh.


Bagian 3: Dua Luka yang Saling Menusuk

Hubungan itu berjalan dua tahun. Dua tahun penuh ledakan dan pengampunan.

Akhirnya, kami memutuskan untuk ke psikiater. Dan dari sana, segalanya menjadi jelas: kami berdua mengidap Borderline Personality Disorder—BPD.

Aku kaget. Tapi masuk akal. Karena belakangan, aku juga mulai meledak. Kadang emosiku tak bisa kuatur. Kadang aku merasa kosong, dan butuh dia hanya untuk merasa “nyata”.

Hubungan kami berubah menjadi arena perang dua luka yang tak tersembuhkan. Tak ada lagi yang bisa disebut sehat. Kami saling mencintai, tapi juga saling menghancurkan.

Dan akhirnya, titik balik itu datang…


Bagian 4: Cukup

Satu sore, saat aku pulang lebih awal dari biasanya, aku melihatnya di atas motor… membonceng perempuan lain. Mungkin hanya teman. Mungkin bukan.

Tapi setelah semua yang kujalani, semua luka, semua pengorbanan… itu cukup.

Aku tidak teriak. Tidak marah.

Aku hanya… lelah.

Dan hari itu, aku memilih berhenti.


Bagian 5: Menemukan Aman

Sekarang, aku bersama seseorang yang baru. Namanya Gian. Dia tenang. Stabil. Tak banyak drama. Tak pernah meninggikan suara, apalagi tangan. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa… aman.

Aku tidak lagi takut salah. Tidak lagi takut ditinggal.

Hubungan ini bukan tentang pengorbanan tanpa batas. Tapi tentang tumbuh bersama.

Aku menulis ini bukan untuk minta simpati. Tapi untukmu, yang mungkin masih bertahan dalam hubungan yang menyakitkan. Dengarkan ini:

BPD bukan alasan untuk menyakiti orang.

Dan kamu bukan orang jahat hanya karena ingin pergi dari seseorang yang membuatmu trauma.

Aku masih belajar. Masih sering jatuh. Tapi aku tahu satu hal pasti:

“Cinta yang membuatmu takut setiap hari, bukan cinta. Itu penjara.”


Photo by Ye Jinghan on Unsplash