Posted in

Pindah Haluan

Pindah Haluan
Pindah Haluan

Tahun 2014, suasana kantor manufaktur kapal di pinggir pelabuhan Surabaya masih lengang saat Anton masuk pagi itu. Debur ombak yang kadang terdengar dari kejauhan, menjadi latar khas tempat ia bekerja sejak enam bulan lalu. Sebagai pegawai kontrak, gaji 3,5 juta per bulan bukanlah angka yang bisa dibanggakan. Tapi bagi Anton, saat itu, yang penting hatinya tenang.

Hari itu ada pegawai baru. Satu angkatan, satu kontrak, satu gaji. Namanya Reza, datang dari Jakarta.

Anton sempat bengong ketika tahu latar belakang Reza. Sebelumnya kerja di perusahaan keuangan besar di Jakarta, gaji terakhirnya 7 juta sebulan. Dengan logika sederhana, siapa pun pasti mikir: “Ngapain pindah ke tempat yang gajinya setengahnya?”

Rasa penasaran itu bikin Anton nyamperin Reza saat makan siang di kantin kecil belakang kantor. Meja plastik, kursi goyang-goyang, dan segelas es teh manis jadi saksi obrolan mereka.

“Zal,” tanya Anton sambil menyeruput es teh, “gue penasaran deh, elu beneran dulu digaji 7 juta di Jakarta?”

Reza senyum tipis. “Iya, bener.”

“Lah trus ngapain elu mau pindah ke sini, gaji cuma 3,5 juta? Separohnya, bro!”

Reza menatap meja sebentar, lalu tertawa kecil. “Lu tahu nggak, gue di Jakarta kayak budak. Pagi jam 5 udah harus siap, pulang bisa jam 12 malam. Tiap hari lembur. Bahkan hari Sabtu pun, kadang pulang malem. Gaji 7 juta, tapi tenaga dan waktu habis semua. Belum lagi, tiap abis lembur malah harus nongkrong sama atasan dan rekan kerja. Bukan buat senang-senang, tapi karena ‘harus’.”

Anton manggut-manggut. “Wah, kayak kerja rodi ya.”

“Nah itu dia. Gue ngerasa hidup gue kayak bukan milik gue. Duit banyak, tapi hidup nggak ada,” jawab Reza santai.

Setelah itu, Anton sering lihat Reza jalan-jalan ke ruangan teman-teman, ngobrol santai sambil ngopi, sesekali ngelawak. Kantor mereka memang bukan tempat dengan tekanan tinggi. Jam kerja teratur, Sabtu libur, dan jam 5 sudah bisa pulang dengan kepala ringan.

“Gue lebih suka gaji kecil tapi hidup waras,” ujar Reza suatu sore, saat mereka duduk-duduk di depan kantor, nunggu matahari tenggelam.

Anton akhirnya paham. Ternyata yang dicari orang bukan selalu soal angka di slip gaji, tapi kualitas hidup yang tidak bisa dibeli dengan uang.


Photo by Francisco De Legarreta C. on Unsplash