Dulu, beberapa tahun yang lalu, aku—Alya—mempertemukan dua orang yang akhirnya saling jatuh cinta: sahabatku Nia dan teman suamiku, Reza. Mereka bertemu di acara kecil-kecilan yang aku dan suamiku adakan di rumah kontrakan kami di perantauan. Gak butuh waktu lama, mereka cocok. Klik. Dan akhirnya memutuskan menikah.
Waktu mereka ngabarin mau nikah, aku senang banget. Rasa bahagianya tuh semacam orang tua yang berhasil nikahin anaknya. Apalagi mereka semangat banget ngajak aku dan suami datang ke pernikahan mereka.
Tapi kenyataannya, waktu itu kami lagi bener-bener pas-pasan. Suamiku baru aja mulai kerja sip malam, dan aku? Sarapan pun ngandelin nasi jatah malam dari tempat kerjanya. Bener-bener fase hidup yang rasanya harus ditertawakan biar gak nangis.
Kami bilang sejujurnya: belum ada uang buat ongkos ke tempat nikahan mereka. Tapi mereka malah semangat, bilang akan bayarin atau ajak bareng naik mobil bareng keluarga Reza. Katanya itu sebagai rasa terima kasih karena udah mempertemukan mereka.
Aku sempat ngerasa haru.
Tapi kenyataannya?
Tiba-tiba udah ada foto-foto mereka nikah. Tanpa kabar, tanpa undangan yang bener-bener. Zonk. Kayak ditinggal pas lagi berharap. Kecewa, tentu. Tapi ya… mungkin mereka lupa, sibuk, atau apa pun itu.
Singkat cerita, Nia ikut suaminya merantau ke kota yang sama dengan kami. Aku seneng dong, kupikir akhirnya aku punya “keluarga” di sini. Tapi ternyata? Lagi-lagi zonk. Jangankan dianggap saudara, dianggap temen juga enggak terlalu kelihatan.
Tapi aku mikir, mungkin akunya yang harus mulai duluan.
Aku dan suami coba deketin mereka lagi, ajak ketemu, ngenalin ke temen-temen sini lewat arisan kecil-kecilan. Yah, walau arisannya gak tahan lama dan akhirnya bubar, aku tetep merasa sudah berusaha.
Waktu berlalu. Kami semua sibuk ngebangun usaha masing-masing.
Tiga tahun gak banyak ngobrol, akhirnya aku ketemu Nia lagi. Dia jualan tahu walik di pinggir jalan. Aku kepikiran buat ikut jualan juga, tapi karena gak enak kalau langsung “nimpalin” usahanya, aku ajak kerjasama. Biar dia yang jadi supplier, aku yang jual. Tapi dia tolak. Katanya belum bisa.
Aku terima. Aku ngerti. Jadi aku buka di tempat lain, jauh dari tempat dia jualan. Di CFD wilayah berbeda.
Tiba-tiba suatu hari, dia WA. Katanya pengen coba jualan juga di CFD tempat aku jualan, soalnya katanya lebih rame. Aku bilang: “Gas aja, aku bukan penguasa CFD, semua orang bisa jualan di mana aja.”
Tapi setelah itu aku mikir…
Kenapa aku harus muter-muter cari tempat supaya gak “nimpalin” dia, sedangkan dia gak masalah jualan di tempat aku?
Kalau gitu, boleh dong kalau aku juga buka cabang di CFD tempat dia jualan?
Aku tahu rezeki Allah yang atur, tapi perasaan dan etika juga kan perlu dijaga, apalagi kalau konteksnya temenan.
Tapi mungkin emang aku aja yang terlalu mikir perasaan orang. Dan kadang, terlalu mikirin orang lain bikin kita gak mikirin diri sendiri. Mungkin ini saatnya aku tetap baik, tetap jaga hati, tapi juga tegas sama batasanku sendiri.
Karena rezeki diatur Tuhan, tapi hati? Siapa yang ngatur kalau bukan kita sendiri?
Image by 👀 Mabel Amber, who will one day from Pixabay
